bernasnews — Bulan Ruwah merupakan bulan ke delapan dalam perhitungan kalender Jawa, maha karya dari Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram Islam, pada abad 16. Kalender atau penanggalan dari hasil akulturasi budaya yang telah ada sebelumnya juga budaya Islam, agama yang dianutnya.
Ruwah bagi masyarakat Jawa merupakan bulan yang istimewa, selain bulan untuk mempersiapkan diri dalam memasuki bulan Pasa (puasa) dalam kalender Hijriah disebutnya bulan Ramadhan. Bulan Ruwah adalah bulan di mana orang-orang melakukan ziarah ke kuburan orang tua dan saudara serta leluhur yang telah menghadap pada Tuhan.
Selain ritual mendoakan arwah dan ziarah makam yang disebutnya Nyadran. Juga pada hari terakhir jelang bulan Pasa atau Ramdhan ada ritual padusan atau mandi bebersih diri, yang biasanya dilakukan di sebuah telaga, mbelik, kolam renang, sungai yang masih jernih airnya bahkan di laut.
Ritual-ritual itu adalah kearifan lokal yang telah dilakukan oleh para leluhur sebelum agama Islam masuk ke Nusantara. Begitua pula kue Apem, kuliner ikonik yang menjadi sesaji dan sajian khas pada bulan Ruwah. Jadi tidak benar apabila ada yang menyebutnya Apem dari Arab.
Apem berasal dari Jawa, tepatnya dari zaman kerajaan Majapahit pada abad ke-13. Pada saat itu, apem dibuat sebagai persembahan kepada dewa-dewa Hindu. Apem juga dipengaruhi oleh budaya Islam yang masuk ke Indonesia pada abad ke-15.
Dibuat dengan menggunakan bahan diantaranya tepung beras, gula merah dan santan, yang merupakan bahan-bahan yang umum digunakan dalam masakan Melayu. Baru pada abad ke-19, apem menjadi populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai camilan atau dessert, yang kemudian dibuat dalam berbagai bentuk dan rasa, seperti apem pandan, apem ubi, atau apem durian.
Apem telah diakui sebagai warisan budaya Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Apem juga telah menjadi simbol kebudayaan Jawa dan Indonesia, yang penuh dengan makna simbolis maupun filosofi. Itulah sejarah keberadaan Apem dan bulan Ruwah. (ted)