bernasnews — Sebuah tradisi yang menjadi kearifan local yang kemudian menjadi budaya di Indonesia banyak sekali ragamnya. Salah satu diantara sekian banyak yang diwariskan oleh nenek moyang adalah Cupu Kyai Panjala yang terletak di Dusun Mendak, Girisekar, Panggang, Kabupaten Gunungkidul, DIY.
Cupu Kyai Panjala merupakan sebuah benda magis berbentuk cawan kecil, yang terdiri tiga macam cupu, yaitu cupu yang ukuran paling besar diberi sebutan atau nama Semar Tinandhu, cupu berkukuran sedang disebut Kalang Kinantang, dan Kenthiwiri sebutan untuk cupu yang paling kecil.
Ketiga cupu tersebut disimpan dalam peti kecil, yang kemudian dibalut ratusan lembar kain mori, kemudian disimpan dalam senthong (kamar khusus, red) tertutup yang diyakini sebagai benda berpetuah. Tradisi yang berkembang menjadi kebudayaan itu telah menjadi identitas sosial masyarakat Desa Girisekar masih diyakini dan dilestarikan hingga saat ini.
Setiap tahun, digelar acara ritual guna membuka lapis demi lapis kain yang membalut Cupu Kyai Panjala. Ritual tersebut dilaksanakan pada hari Senin Wage atau malam Selasa Kliwon mangsa Kapapat bulan Jawa Dulkangidah, menjelang musim labuh atau musim bercocok tanam. Ritual dipimpin oleh juru kunci Dwijo Sumarto, merupakan generasi ke-7 dari trah keturunan Kyai Sayek atau Kyai Panjala.
Pada lembar kain mori tersebut ditemukan benda atau gambar yang akan dinarasikan oleh sang juru kunci dan dipercayai sebagai ramalan mengenai peristiwa yang akan terjadi satu tahun ke depan. Adanya kepercayaan terhadap kekuatan magis yang melekat pada Cupu Kyai Panjala menyebabkan banyak masyarakat yang meminta pertolongan, sehingga berdampak pada berkembangnya mitos di kalangan masyarakat.
Tradisi unik ini menarik perhatian mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), yang melakukan penelitian tentang penyingkapan komunitas budaya eksistensi mitos Cupu Panjala di tengah realitas global. Mereka adalah Eugenius Damar Pradipta, Eunike Sistya Nanda dan Dyan Putri Amelia Nugraheni dari Prodi ilmu komunikasi Fakultas Ilmu Sosial UNY.
Eugenius Damar Pradipta mengungkapkan, bahwa fenomena keterkaitan antara globalisasi dan cara pandang Pemuda Desa Girisekar terhadap kebudayaan Cupu Kyai Panjala ini menarik untuk dibahas secara holistik dan mendalam. Menurut dia, diperlukan cara agar nantinya budaya Cupu Kyai Panjala dapat terus lestari dan menjadi ikon serta peluang di masa mendatang.
“Generasi muda boleh saja merubah cara hidup menjadi modern, tetapi akan lebih baik jika mengetahui nilai-nilai luhur dan karakter suatu budaya untuk dijadikan sebagai pembelajaran dalam kehidupan,” kata Damar.
Lanjut dia menjelaskan, penelitian ini untuk mengetahui bagaimana para pemuda Desa Girisekar memaknai ramalan Cupu Kyai Panjala sebagai budaya asli daerah di tengah realitas global seperti saat ini. Juga untuk mengetahui apakah kebudayaan Cupu Kyai Panjala masih dianggap sakral dan diyakini oleh generasi muda Desa Girisekar, serta untuk mengetahui apakah globalisasi membuat generasi mudanya lantas tidak peduli dengan kebudayaan mereka sendiri.
Dyan Putri Amelia Nugraheni menjelaskan, masyarakat Dusun Mendak memiliki semangat koeksistensi di atas segala perbedaan. Potret multikulturalisme masyarakat Dusun Mendak dapat digambarkan melalui keanekaragaman agama yang menjadi bagian dari warga setempat.
“Di Mendak, Desa Girisekar terdapat pesantren yang cukup besar yaitu Pesantren Darush Sholihin yang didirikan oleh Muhammad Abduh Tuasikal. Selain itu, tidak jauh dari tempat penyimpanan Cupu Panjala, kediaman Mbah Dwijo Sumarto, terdapat Gereja Kristen Jawa serta kapel Gereja Katolik,” terang Dyan.
Dikatakan, realitas sosial masyarakat Dusun Mendak yang dapat hidup berdampingan dengan agama dan budaya di tengah gempuran globalisasi saat ini menjadi suatu fenomena paradoks yang unik. Pada umumnya pemisahan konsepsi agama dan budaya cenderung menghasilkan dikotomi hubungan iman dengan kebudayaan yang mendorong munculnya konfrontasi antara kedua aspek tersebut.
Dualisme yang terjadi disebabkan karena adanya keyakinan bahwa agama dan budaya merupakan dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Hal tersebut menyebabkan polemik dalam dinamika sosio kultural masyarakat, sehingga mendorong terjadinya konflik dalam kehidupan masyarakat.
Relasi agama dan budaya yang terjalin di Dusun Mendak menunjukkan bagaimana agama dan budaya dapat hidup secara berdampingan tanpa menimbulkan suatu gesekan. Pada dasarnya masyarakat Jawa tidak mementingkan lagi agama yang dianut oleh orang lain. Mereka lebih mementingkan keakraban dan tetap memegang teguh pada budaya.
Hal tersebut didasari oleh fenomena empirik yang melihat banyak aktivitas masyarakat berupa upacara-upacara ritual budaya dengan tanpa membedakan agama. Pemuda Dusun Mendak yang masih percaya dengan mitos Cupu Panjala cenderung menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang sakral dan selalu mengikuti prosesi ritual pembukaan baik secara langsung atau melalui media. Juga terlibat aktif dalam dinamika sosial pada saat acara ritual pembukaan Cupu Panjala berlangsung. Hal ini dipengaruhi oleh hubungan komunikasi yang kuat dalam proses internalisasi budaya itu sendiri.
Sementara itu, kelompok pemuda lain memiliki pandangan yang berkebalikan, yakni cenderung tidak percaya pada mitos Cupu Panjala. Akan tetapi, mereka masih menghormati budaya tersebut sebagai aset lokal masyarakat Mendak. Hal ini berkaitan dengan spirit toleransi masyarakat dalam hal kepercayaan. Pemuda sebagai digital native yang lebih dekat dengan modernisme telah mengenal dunia luar melalui terpaan teknologi komunikasi dan informasi.
Konsekuensinya individu tersebut lebih mengedepankan rasionalitas dimana masyarakat modern lebih mempercayai hal-hal yang sifatnya nyata dan dapat diterima oleh panca indera mereka. Mereka menyingkirkan hal-hal yang dianggap sebagai kepercayaan yang bersifat abstrak ataupun mitos, tahayul, mistis, dan segala sesuatu yang bersifat susah untuk diterima akal sehat.
Dapat disimpulkan bahwa Cupu Panjala sebagai salah satu entitas budaya masyarakat Dusun Mendak tetap eksis di tengah realitas masyarakat modern. “Globalisasi menjadi suatu fenomena paradoks yang dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Cupu Panjala, tetapi Cupu Panjala tidak terpengaruh oleh adanya globalisasi,” kata Eunike Sistya Nanda.
Globalisasi justru dapat membuka kesempatan untuk memperkenalkan Cupu Panjala kepada dunia luar. Realitas sosial masyarakat Dusun Mendak yang dapat hidup berdampingan dengan agama dan budaya menjadi bukti bahwa Cupu Panjala tidak bersinggungan dengan agama. “Banyak masyarakat Dusun Mendak yang sudah beragama, namun masyarakat masih banyak yang percaya dengan mitos dan Cupu Panjala masih tetap eksis,” pungkasnya. (*/ ted)