FGD Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta: ‘Bursa dan Yogyakarta Berbagi Perspektif Mengenai Situs Warisan Dunia UNESCO’

BERNASNEWS.COM — Sebuah kota tidak dapat bercerita terkait sejarah yang dijalaninya, namun sejarah tersebut tertulis di setiap sisi kota seperti garis yang tertulis di tangan. Berikut perumpamaan terkait dengan seberapa penting bagian-bagian kota dalam menjaga nilai-nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya.

Perumpamaan tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Neslihan Dostoğlu, Dekan Fakultas Arsitektur Istanbul Kultur Universitesi dan sekaligus Manajer dari UNESCO World Heritage Site di Bursa, Turki. Gambaran tersebut disampaikan beliau dalam acara Focus Group Discussion (FGD) “Situs Warisan Dunia UNESCO: Perspektif dari Bursa dan Yogyakarta” secara daring dan luring, Selasa (24/8/2021), di sebuah hotel bintang, Jalan Margo Utomo, Yogyakarta.

Sebuah kegiatan yang dijalankan untuk memberikan gambaran filosofi dan upaya yang dilakukan oleh kota Bursa untuk menjadi kota warisan dunia UNESCO pada tahun 2014, serta bagaimana potensi Kota Yogyakarta dalam upayanya untuk mengajukan diri sebagai kota warisan dunia UNESCO selanjutnya.

Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari berbagai sektor guna memotret gambaran besar Bursa dan Yogyakarta sebagai situs bersejarah yang memiliki warisan budaya tak ternilai di dunia. Acara ini diawali dengan pemaparan filosofi budaya kota Bursa dan dilanjutkan dengan upaya serta strategi yang dijalankan kota Bursa hingga akhirnya menjadi situs warisan dunia UNESCO pada tahun 2014.

Prof. Dostoğlu menyampaikan, bahwa menjaga identitas kota menjadi salah satu hal yang perlu dipertahankan. Upaya pengajuan sebagai situs warisan dunia UNESCO tidak dapat hanya dilakukan di awal upaya mencapai titel tersebut, namun juga merupakan upaya berkelanjutan untuk memastikan bahwa identitas dan budaya kota tersebut tetap terjaga.

Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta Yetti Martanti, S Sos, MM didampingi Kepala UPT Malioboro Ekwanto saat kegiatan FGD, Selasa (24/8/2021). Foto: Nuning Harginingsih/ Bernasnews.com.

Pembahasan berikutnya dibawakan oleh Yetti Martanti, S Sos, MM selaku Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta yang menjelaskan, bahwa sebagai bagian dari situs budaya, Kota Yogyakarta perlu melakukan persiapan untuk menjamin bahwa sumbu filosofi terjaga dan tetap memperhatikan kenyamanan dari pengunjung area situs budaya tersebut.

“Situs ini terutama pada area antara Tugu Jogja hingga Panggung Krapyak. Juga wilayah-wilayah penyangga sumbu filosofi,” tegas Yetti.

Dikatakan, hal pertama yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta adalah mengembangkan pedestrian di pusat kota untuk menjamin kenyamanan wisatawan yang sedang melintas di area tersebut.

Kedua,  lanjut Yetty, adalah melakukan perencanaan transportasi yang terintegrasi untuk menjamin bahwa lalu lintas yang berjalan tidak merusak situs budaya yang ada di area tersebut.

“Hal itu ditunjukkan dengan adanya giratori yang dijalankan oleh Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, hingga pengembangan area-area parkir yang memungkinkan wisatawan menjangkau pusat kota namun tetap memberikan kenyamanan bagi pengunjung,” bebernya.

Berikutnya pembahasan dibawakan Dian Lakshmi Pratiwi, SS, MA selaku Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta yang lebih jauh menjelaskan sumbu filosofi, serta bagaimana dampaknya pada keistimewaan DIY secara keseluruhan.

“Filosofi ini merupakan satuan yang tidak terpisahkan dari sejarah lokal dan memiliki kontribusi nilai budaya masyarakat yang ada di DIY,” katanya.

Di sini, papar Dian, sumbu filosofi menjadi perwujudan nilai-nilai peradaban sebagai filosofi kehidupan universal, mulai dari bagaimana manusia berasal dan bagaimana manusia kembali, sebagai nilai fundamental pembangunan peradaban, baik hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, hingga manusia dengan alam.

Dengan dasar ini, Kota Yogyakarta kemudian mengajukan situs sumbu filosofi yang terhubung dari Panggung Krapyak di selatan, kompleks Kraton di tengah, hingga Tugu di utara sebagai salah satu situs warisan budaya UNESCO. “Upaya ini bukanlah semata-mata hanya untuk prestige, namun lebih sebagai upaya untuk melestarikan adab dan mensejahterakan manusia yang tinggal di kawasan Yogyakarta,” tegas Dian.

Pembahasan terakhir disampaikan oleh Hadza Min Fadhli Robby, SIP, MSc, Direktur Embun Kalimasada yang menitikberatkan pentingnya pengajuan status sebagai situs warisan dunia UNESCO. Pihaknya menjelaskan mulai dari sejarah awal munculnya status situs warisan dunia UNESCO dan bagaimana status tersebut mampu memberikan dukungan bagi negara tersebut untuk dapat mempertahankan bukti besarnya budaya yang telah berkembang di wilayah tersebut.

“Untuk dapat berhasil menggapai status sebagai situs warisan dunia UNESCO, paling tidak ada tiga faktor utama,” terang Hadza.

Dikatakan, pertama perlu adanya sinergitas aktor, baik pemerintah, masyarakat sipil, serta aktor-aktor terkait. Kedua, perlunya mempersiapkan dokumen yang mendetail dan rasionalisasi sesuai syarat UNESCO, yaitu universal, memiliki signifikansi internasional, dan memiliki makna mendalam terhadap kemanusiaan.

“Dan yang terakhir adalah perencanaan yang seimbang, yaitu strategi yang mendorong kemajuan masyarakat sekitar dan memastikan perlindungan situs budaya di wilayah tersebut,” ujar Hadza.

Pihaknya juga mengingatkan bahwa status tersebut tidaklah bertahan selamanya. UNESCO dapat mencabut status sebagai situs warisan dunia apabila pemerintah gagal untuk menjaga identitas dan budaya lokal. “Karena itulah diperlukan kerja keras berkelanjutan dari berbagai pihak untuk mempertahankan budaya dan situs-situsnya,” pungkasnya.

Pelaksanaan kegiatan focus group discussion ini juga dihadiri oleh peserta dari berbagai latar belakang diantaranya, perangkat pemerintah, pegiat budaya, pengusaha hotel dan restoran, mahasiswa, hingga media massa. Diharapkan dengan kegiatan ini mampu memberikan masukan serta gambaran strategi yang lebih komprehensif guna mendapatkan status situs warisan dunia UNESCO bagi situs sumbu filosofi, juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar situs budaya tersebut. (Nuning)