BERNASNEWS.COM — Hari Idul Fitri bagi masyarakat Indonesia dalam khasanah budaya sering juga disebut hari Lebaran atau hari kemenengan setelah melaksanakan ibadah puasa selama bulan Ramadan bagi kalangan umat muslim. Namun dalam perkembangan, budaya Lebaran telah menjadi milik bangsa Indonesia, artinya budaya Lebaran menjadi milik seluruh masyarakat, baik suku maupun agama yang ada.
Dalam merayakan hari Lebaran ini selalu tidak lepas dari sajian kuliner khas yaitu, ketupat lengkap dengan opor ayam dan sambal krecek ati. Seperti tahun-tahun sebelum jelang Lebaran, bahan-bahan pembuat masakan itu harganya dipastikan naik, terlebih selongsong (anyaman) ketupat.

Seperti penuturan Solikhin pembuat dan penjual selongsong ketupat saat ditemui Bernasnews.com, Sabtu (23/5/2020), di Pasar Prawirotaman, Yogyakarta, mengatakan, bahwa harga jual selongsong ketupat satu ikat (unting) berisi 10 biji, Lebaran tahun ini bisa mencapai harga Rp 20.000 per ikat. Penjual sayuran berasal dari Desa Pajangan, Bantul ini menambahkan, bahwa ia membuat selongsongan ketupat sejak lima tahun lalu atau telah lima kali Lebaran.
“Awalnya coba-coba bikin sebagai pengisi waktu di saat jaga dagangan sayuran dan menjualnya. Kok bisa laku keras, maka dari situlah setiap jelang Lebaran saya jual selongsong ketupat ini. Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, harganya sekarang bisa mencapai Rp 20.000 per ikat, padahal tahun lalu untuk menjual dengan harga Rp 15.000 pun cukup sulit. Apakah ini ada kaitannya dengan Corona, saya nggak tahu,” ungkap Solikhin.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Emiliana, ibu muda dari Kampung Keparakan, Yogyakarta, bahwa harga selongsong ketupat kali ini lumayan mahal. “Setiap Lebaran, saya kan pasti bikin masak ketupat berserta opor dan sambal goreng ati. Jadi saya tahu persis, Lebaran tahun lalu saja saya beli per ikat hanya Rp 12.000,” terang ibu berputra dua ini, di sela-sela belanja.
Lanjut Emiliana, bahwa dirinya adalah non muslim tapi setiap
Lebaran ikut merayakan sebagai bentuk ikut nguri-uri
atau melestarikan budaya Jawa, meskipun ketika kecilnya hidup di Jakarta. “Selain
itu, saudara dan kolega saya juga banyak yang muslim. Untuk acara mudik sendiri
selama berumah tangga nggak pernah. Kebetulan suami asli Yogyakarta dan orang
tua tinggal ibu yang tinggal bersama saya,” pungkas Emiliana.
Ketupat yang konon diciptakan oleh Sunan Kalijaga, masa kerajaan Islam Demak, bagi masyarakat Jawa khususnya mempunyai makna filosofi tinggi. Ketupat atau juga disebut Kupat bermakna, Ngaku Lepat atau mengakui kesalahan. Sementara bahan membuat ketupat adalah Janur (daun kelapa) bermakna Jatining Nur (Cahaya Sejati), bahwa kehidupan ini adalah bertujuan mencapai Cahaya Sejati yang bersumber pada Ilahi.
Ada juga yang memaknakan Kupat adalah dari akronim Laku Papat (Empat Laku) yaitu, Lebar-an atau setelah laku puasa lantas Luber-an (tumpah) mau berbagi rejeki. Kemudian Lebur-an (dihapuskan) semua kesalahan untuk Labur-an kembali putih bersih. Labur adalah kapur bahan untuk pemutih dinding. Sehingga orang-orang Jawa tempo dulu setiap bertutur kata dalam sambutan selalu ditutup dengan kalimat “Kupat Disanteni “ menawi lepat nyuwun pangampunten yang terjemahan dalam bahasa Indonesia: Kalau Salah Mohon Maaf. (ted)