Mengembangkan Poros Wisata YIA-Borobudur hingga Sendangsono

BERNASNEWS.COM – Momen penutupan Bulan Rosario pada bulan Oktober tahun ini di tempat peziarahan Gua Maria (GM) Sendangsono, Kalibawang, Kulonprogo, DIY belum mampu menyedot peziarah sebanyak-banyaknya. Pada misa penutupan, Kamis (31/10/2019), Misa Kudus yang dipimpin Vikep DIY Romo Adrianus Maradiyo Pr hanya diikuti sekitar 100 umat, menyisakan banyak tempat kosong di kompleks GM Sendangsono yang luas itu.

Sepinya GM Sendangsono dirasakan sejak banyak alternatif tempat ziarah di tempat-tempat lain. Umat Katolik membangun Gua Maria dan taman doa di daerahnya sendiri. Hingga saat ini, di wilayah Provinsi DIY saja ada lebih dari 15 Gua Maria dan taman doa. Selain GM Sendangsono, di Kabupaten Sleman ada GM Jatiningsih, GM St Yohanes Rasul Somohitan, GM Ponggol, GM Tebonan, GM Dhamparing Kawicaksanan dan GM Sumur Kitiran Mas serta Taman Doa Nandan.

Umat khusuk berdoa di depan Gua Maria Sendangsono. Foto : Anton Sumarjana

Di Kabupaten Kulonprogo ada GM Lawangsih, GM Watu Blencong dan GM Duren Sawit. Di Kabupaten Bantul ada GM Berdukacita Gunungsempu, GM Semanggi Gunungsempu, Taman Doa Kerahiman Ilahi Pajangan dan Candi Hati Kudus Yesus Ganjuran. Di Kabupaten Gunung Kidul ada GM Ngijorejo dan GM Tritis.

AURA SENDANGSONO

Banyaknya tempat ziarah baru di DIY ini membuat umat Katolik memilih tempat ziarah yang gampang diakses dari sisi transportasi. Candi Hati Kudus Yesus Ganjuran adalah yang paling banyak dikunjungi, mencapai lebih dari 200 peziarah per hari.

Meskipun sepi pengunjung, namun pamor atau aura GM Sendangsono tidaklah berkurang. Umat Katolik di Yogya, Jawa bahkan Indonesia tetap mengenal GM Sendangsono sebagai Lourdes-nya Indonesia. Menguatnya aura rohani Sendangsono ini tercipta dari sejarah keberadaan Sendangsono, yang berakar pada kisah kehidupan masyarakat pegunungan Menoreh pada masa lalu.
Konon, pada masa lalu, Sendangsono merupakan tempat persinggahan para bhiksu yang sedang menempuh perjalanan ke Borobudur. Di tempat ini ada belik atau sendang yang berada di bawah pohon angsana. Para bhiksu beristirahat dan minum air sendang ini sambil berteduh di bawah kerindangan pohon angsana.

Umat memadati pelataran Gua Maria Sendangsono Kulonprogo pada misa penutupan Bulan Rosario, 31 Oktober 2019. Foto : Anton Sumarjana

Pada 14 Desember 1904, Romo van Lith SJ, misionaris asal Belanda membaptis 173 orang Jawa. Inilah umat Katolik perdana di tlatah Jawa Tengah dan Yogyakarta, yang kemudian menjadi wilayah gerejani Keuskupan Agung Semarang. Salah seorang dari 173 orang Jawa ini adalah Barnabas Sarikromo. Penduduk Dusun Semagung ini kemudian menjadi katekis yang mewartakan Injil di daerah sekitar Sendangsono ini. Makam Barnabas Sarikromo ada di pemakaman bersebelahan dengan area GM Sendangsono.

Untuk mengenang peristiwa pembaptisan massal itu, pada 1923, Rm JB Prenthaler SJ yang berkarya di Boro mengusulkan Sendangsono menjadi tempat ziarah. Usul ini mulai diwujudkan pada 1927. Dua tahun berselang, pada 8 Desember 1929, GM Sendangsono diresmikan sebagai tempat peziarahan umat Katolik. GM Sendangsono mendapat sumbangan patung Dewi Maria dari negara Swiss. Patung tiba di Sentolo kira-kira sejauh 30 km, lalu digotong ke Sendangsono.
Inilah sejarah GM Sendangsono.

Aura rohaninya sangat kuat terkait dengan sejarah berkembangnya umat Katolik di Jawa. Tempat ziarah ini sangat cocok bagi mereka yang mencari kekuatan iman terkait dengan rahmat pembaptisan umat Sendangsono pada masa lalu.

DAYA TARIK

Dari sisi arsitektur pun, GM Sendangsono sangat istimewa. Bangunan berundak-undak menyerupai sawah teras sharing di Tabanan dan Ubud, Pulau Bali ini, merupakan karya besar Romo JB Mangunwijaya alias Romo Mangun. Sekarang ini, Sendangsono yang pernah meraih penghargaan sebagai karya arsitektur terbaik dari Ikatan Arsitek Indonesia dan penghargaan Agha Khan dari Filipina ini tetap dan kian mempesona. Dilihat dari depan, landscape Sendangsono dengan jembatan kecil melengkung di atas kali yang airnya mengalir jernih ini tampak unik dan cantik. Landscape seperti ini tiada duanya di Indonesia.

Magnet Sendangsono berupa keistimewaan arsitektur bangunan, nilai sejarah tempat ini dan suasana kekatolikan masyarakat sekitar, GM Sendangsono selayaknya tetap mendapat tempat yang istimewa di hati umat Katolik Indonesia. Bahkan umat non Katolik pun ada yang secara khusus hadir untuk bersyukur dan berdoa di tempat ini. Profesor Steinbring dari Belanda, pernah mengatakan, tempat ziarah di Jawa, salah satunya Sendangsono ini telah menjadi tempat perjumpaan lintas iman. Dan di Sendangsono ini, pernyataan Steinbring ini nyata adanya.

Sejumlah umat foto bersama Romo Vikep Romo Adrianus Maradiyo Pr usai misa penutupan Bulan Rosario di Gua Maria Sendangsono Kulonprogo, 31 Oktober 2019. Foto : Anton Sumarjana

YIA-BOROBUDUR

Berjarak 48 km ke arah selatan GM Sendangsono terdapat Bandar Udara Yogyakarta International Airport (YIA). Bandara YIA mulai beroperasi pada 6 Mei 2019. Selama empat bulan pertama beroperasi, bandara YIA mampu melayani 1800 penumpang pesawat per hari. Jika sudah beroperasi penuh pada tahun depan, Bandara YIA akan melayani 20 juta penumpang per tahun.

Sendangsono terletak di tengah perlintasan jalur Bandara YIA ke Candi Borobudur, satu dari delapan keajaiban dunia menurut Unesco. Dan kelak, Candi Borobudur ini, menurut perencanaan daerah, diarahkan untuk menjadi pusat spiritualitas Buddha se dunia (semacam kabah di Mekkah, Arab Saudi). Para wisatawan bisa menikmati keindahan Candi Borobudur dari puncak Suralaya di perbukitan Menoreh.

Berada di jalur emas wisatawan antara Bandara YIA ke Candi Borobudur ini tentu akan membuka peluang lebih besar untuk para peziarah masuk ke Sendangsono. Bayangkan jika ada baliho besar di titik strategis dekat Bandara YIA berupa gambar dan kata-kata promotif tentang GM Sendangsono, akan menarik perhatian wisatawan. Dari 20 juta penumpang pesawat yang setiap tahun memasuki Yogyakarta melalui pintu gerbang Bandara YIA, akan ada yang menuju atau sekadar mampir ke GM Sendangsono. Biro-biro perjalanan wisata di Yogya pun bisa menawarkan paket ziarah dan rekreasi (ziarek) dengan menggunakan Bandara YIA sebagai titik penjemputan.

Namun apa yang harus dibenahi agar Sendangsono menarik minat para wisatawan. Tentu saja jika Sendangsono mempunyai daya tarik yang tinggi. Daya tarik rohani, Sendangsono mempunyai branding yang kuat sebagai Lourdes nya Indonesia. Tempatnya teduh, tenang, aman dan sejuk oleh rimbunnya pepohonan khas perbukitan Menoreh. Daya tarik lain bisa dimunculkan. Misalnya, membuat event-event dalam skala yang besar, misalnya tingkat keuskupan atau kevikepan, dimana tata liturgi dibuat yang khas Jawa. Diadakan Misa khusus orang muda se-Kevikepan DIY, pentas kisah sengsara Yesus, misa inkulturasi dan lain-lain.

Akhir-akhir ini, Paroki Promasan menyelenggarakan prosesi Sakramen Mahakudus pada setiap minggu kedua. Arak-arakan dari gereja Promasan menuju Sendangsono ini bisa lebih digaungkan, sehingga lebih banyak umat di DIY yang mengetahui prosesi ini. Juga penyelenggaraan novena khusus seperti di tempat-tempat lain menarik umat untuk datang.

Anton Sumarjana di depan Gua Maria Sendangsono Kulonprogo, 31 Oktober 2019. Foto : Istimewa

Satu kendala yang membuat orang kurang bersemangat ke Sendangsono adalah soal akses transportasi. Jalan desa dari jalan raya Wates Muntilan menuju Sendangsono masih sempit, tidak lebih dari tiga meter. Jika mobil berpapasan harus pelan sekali, bahkan salah satunya harus berhenti. Bus sedang kapasitas 35 orang tidak bisa masuk ke Sendangsono. Kendaraan yang bisa masuk hingga area parkir Sendangsono kira-kira 100 meter dari Gua Maria hanya sepeda motor, mobil pribadi dan elf.
Pemda Kulonprogo bisa berbaik hati memperlebar jalur Sanden ke Sendangsono menjadi minimal empat meter, dengan demikian bus sedang bisa masuk sampai area parkir. Banyaknya peziarah di Sendangsono akan memberi dampak positif terhadap kehidupan ekonomi masyarakat sekitar. Warung makan, toko souvenir, pengelola parkir tentu akan lebih hidup lagi.

Jika akses jalan ke Sendangsono semudah akses ke CHKY Ganjuran, Sendangsono akan dikunjungi oleh lebih banyak lagi peziarah. Dengan demikian aura Sendangsono sebagai awal mula kekatolikan di Jawa lebih dari 100 tahun yang lalu, yang telah menjadi pondasi yang kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan umat Katolik di Keuskupan Agung Semarang ini, akan terus dihidupkan. Itulah magnet Sendangsono. (Anton Sumarjana, Penelola Biro Perjalanan Wisata Rohani Christtour Yogyakarta)