BERNASNEWS.COM — Jumlah legal drafter atau pembuat konsep peraturan di daerah, seperti peraturan daerah, peraturan gubernur/bupati atau walikota maupun peraturan desa, di luar Pulau Jawa masih sangat minim. Akibatnya, banyak daerah yang mengambil legal drafter dari luar, terutama dari perguruan tinggi negeri di luar daerah, untuk membuat konsep peraturan.
“Mengambil legal drafter dari luar kurang baik karena mereka akan membuat peraturan sesuai pesanan. Legal drafter dari luar tidak tahu persis kondisi suatu daerah. Lain halnya bila legal drafter putra daerah pasti bisa membuat legal drafting yang sesuai kondisi daerah karena dia tahu kebutuhan daerahnya. Selain itu, menggunakan legal drafter putra daerah sekaligus bisa melakukan pengawalan-pengawalan atas pelaksanaan peraturan di daerah dan APBD-nya tidak lari ke luar atau kemana-mana tapi ke rakyat daerah itu sendiri,” tutur Sri Handayani Retna Wardani SH, Ketua Pusat Kajian Hukum Konstitusi dan Perintis Forum Diskusi Konstitusi dan Penyusun Perda Provinsi/ Kabupaten/ Kota, Trainer Legal Drafting dan Dosen Universitas Janabadra Yogyakarta (UJB) pada seminar tentang legal drafting di Kampus STPMD “APMD” Jalan Timoho Yogyakarta, Sabtu (24/8/2019).
Dalam seminar dengan tema Mendorong Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan Rakyat yang diadakan oleh Ikatan Keluarga Ile Ape (TALA IA) Lembata, Flores Timur, Provinsi NTT yang tinggal di Yogyakarta itu, Sri Handayani Retna Wardani mengajak para mahasiswa untuk bekerja sama dengannya dalam hal pelatihan-pelatihan maupun membuat legal drafting yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah.
“Di luar Jawa minim legal drafter. Siapa yang mau bekerja sama dengan saya silahkan. Kita bisa melakukan bersama-sama dengan cara menjadi trainer di daerah,” ajak Sri Handayani.
Dikatakan, Indonesia sangat luas dan banyak provinsi, kabupaten/kota yang harus membuat perda sehingga membutuhkan banyak legal drafter. Untuk DIY saja ada 5 kabupaten dan 1 kota, sementara di NTT 16 kabupaten plus satu provinsi yang juga membutuhkan tenaga legal drafting yang cukup banyak.
“Kalau tak ada legal drafter di suatu daerah pasti mengambil legal drafter dari daerah lain. Kalau legal drafternya dari luar daerah mereka akan membuat sesuai pesanan. Tapi kalau legal drafternya putra daerah pasti tahu kebutuhan daerahnya, sehingga bisa mengawal APBD untuk kesejahteraan daerah sendiri. DPRD jua pasti membantu kepala daerah. Jadi mereka bersinergi,” kata Sri Handayani.
Dikatakan, membuat legal drafting yang baik dan benar merupakan bagian dari pembangunan hukum nasional. Dan pembangunan hukum berkaitan dengan seluruh bidang kehidupan dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.Pembangunan di bidang hukum merupakan kontribusi arah kebijakan dan strategi pembangunan di bidang hukum bersifat tidak langsung, namun sangat menentukan kokohnya pilar institusi yang dapat mempercepat proses pembangunan di segala bidang termasuk bidang ekonomi
“Pembangunan hukum sebagai salah satu katalisator pembangunan bangsa. Karena itu, pembangunan hukum perlu ditopang dengan sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945,” kata Dosen FH UJB ini.
Dikatakan, pembagunan hukum di era globalisasi mau tidak mau akan sangat terpengaruh di dalam sistem hukum nasional. Dan sistem hukum nasional dipaksa beradaptasi dengan berbagai perkembangan hukum di dunia. Indonesia harus mempu meyelesaikan masalah yang urgen untuk diselesaikan, akibat dari perubahan yang sangat dinamis. Dengan demikian, dengan terpaksa Indonesia mengadopsi beberapa prinsip yang dipraktikkan oleh negara-negara lain.
Menurut Sri Handayani, para perumus kebijakan dan penentu kebijakan wajib menjadikan UUD 1945 sebagai hukum dan kebijakan yang tertinggi di segala bidang dan tidak boleh ada kebijakan yang bertentangan dengan UUD 1945. UUD 1945, selain teks formal juga aspek kontekstual secara materiil, termasuk hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dikatakan, setiap produk peraturan perundang-undangan, termasuk Perda, wajib diharmonisasikan dengan Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum. Dan Kementrian Hukum dan HAM mempunyai tugas dan fungsi melakukan pembinaan hukum, berupaya untuk melakukan sejak tahap perencanaan pembentukan PUU, yaitu dalam rangka penyusunan Prolegnas serta tahap penyusunan PUU melalui pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan PUU.
Sejak tahun 2016 Kementrian Hukum dan HAM melalui BPHN mendapat tugas menganalisis dan mengevaluasi seluruh PUU sejak kemerdekaan hingga saat ini. Presiden Jokowi mengatakan banyak PUU yang dapat menghambat lajunya pembangunan nasional sehingga perlu dilakukan penataan regulasi. Karena itu diperlukan pendataan PUU secara nasional, baik di tingkat pusat maupun daerah. “Setiap PUU diusahakan mampu berkontribusi positif terhadap upaya pencapaian tujuan nasional di segala bidang,” kata Sri Handayani.
Pada kesempatan itu, Sri Handayani berpendapat perlunya evaluasi seluruh PUU yang tumpah tindih dan disharmonisasi antar PUU, baik yang bersifat vertikal maupun horisontal, jumlah regulasi yang banyak serta tidak semuanya berdaya guna dan berhasil guna. Selain itu, penguatan pembentukan PUU, karena masih terdapat penyelundupan isu-isu primordial, sektarian, kepentingan asing dan ego sektoral dalam pembentukan PUU serta masih belum harmonisnya antara UU No 23 tahun 3014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 12 tahun 2011 dan database PUU belum terintegrasi. (lip)