BERNASNEWS.COM – Sebagian besar wilayah Indonesia kini sedang memasuki musim kemarau yang berdampak pada kekeringan. Berdasarkan prakiraan dari BMKG, sebanyak 64,94 % wilayah Indonesia sedang mengalami curah hujan kategori rendah. Akibatnya hampir 3,5 juta jiwa menjadi terdampak bencana kekeringan di 55 kabupaten dan kota di pulau Jawa dan Nusa Tenggara.
Kepala Klimatologi BMKG DIY, Reni Kraningtyas, menyampaikan bahwa pada bulan Agustus 2019 ini, semua wilayah D.I.Yogyakarta telah memasuki musim.kemarau. Awal musim kemarau di D.I.Yogyakarta berlangsung sejak April sampai pertengahan Mei 2019, bahkan pada bulan Agustus ini semua wilayah D.I Yogyakarta diprediksikan mengalami puncak musim kemarau. BMKG sudah memprediksi periode kemarau tahun 2019 ini (Mei – Oktober) akan lebih kering dibanding tahun 2018 sehingga perlu kewaspadaan dan antisipasi lebih dini dari Pemerintah maupun masyarakat.
“Berdasarkan pantauan BMKG hingga awal Agustus 2019, beberapa wilayah DIY sudah mengalami kekeringan meteorologis level ekstrim dimana tercatat ada daerah yang sudah lebih dari 70 hari tidak ada hujan, bahkan ada yang lebih dari 130 hari seperti kabupaten Bantul. Kondisi ini tentu akan memiliki dampak lanjutan terhadap kekeringan pertanian dan kekurangan air bersih masyarakat. Selain itu ancaman gagal panen bagi wilayah – wilayah pertanian tadah hujan semakin tinggi,” ujar Kepala Klimatologi BMKG DIY, Reni Kraningtyas, Rabu (21/8/2019).
Dari semua wilayah D.I Yogyakarta , kabupaten Gunungkidul menjadi wilayah yang terlanda paling ekstrim di DIY. Per bulan Agustus 2019, sedikitnya 134 ribu jiwa di 14 kecamatan di Gunungkidul terlanda kekeringan, bahkan sudah sampai pada level kesulitan mendapatkan air bersih.
Kondisi kekeringan ekstrim yang melanda Gunungkidul salah satunya adalah karena faktor musim kemarau yang didukung oleh geografis yang didominasi bebatuan Karst (kapur), sehingga air sulit tertahan diatas tanah. Selain itu belum ditemukannya sumber mata air di beberapa kecamatan juga menjadi sebab air bersih di Gunungkidul menjadi semakin langka.
“Pada dasarnya bencana kekeringan tidak kalah mengerikan dengan bencana gempa bumi maupun bencana tsunami , kekeringan memang bukan bencana yang bisa secara langsung berdampak pada kematian, namun kekeringan merupakan bencana yang sangat laten. Kekeringan bukan bencana rapid on set namun slow on set. Slow on set ini memiliki dampak mematikan,” ujar Ketua ACT DIY, Bagus Suryanto.
Bagus melanjutkan, kebutuhan akan air bersih dapat dikata adalah kebutuhan paling mendesak. Jika kekurangan air bersih berlangsung secara terus menerus pada waktu lama, kondisi ini bisa saja berujung kelaparan, gagal panen atau tidak dapat ditanami, ternak-ternak warga pertumbuhan nya tidak optimal, sehingga berdampak pada kemiskinan bahkan bisa lebih buruk yaitu kematian.
Berbagai upaya dilakukan oleh sejumlah pihak untuk menanggulangi kekeringan di DIY. Di Gunungkidul progam Humanity Water Tank atau distribusi air bersih sudah rutin digalakkan sejak bulan Juni lalu , di bulan Agustus ini karena memasuki puncak musim kemarau, intensitas distribusi air bersih le dimasukkan dengan rata-rata 6 tangki per hari atau sekitar 20-30 ribu liter per hari.
Adapun progam jangka panjang adalah pembangunan sumur wakaf di lokasi+ lokasi yang rawan kekeringan, yang kini telah dibangun sebanyak 18 titik di Gunungkidul dan sekitarnya.
“Sementara itu di Yogyakarta aksi pelepasan progam Humanity Water Tank akan digelar di halaman balaikota Yogyakarta pada hari Kamis (22/8)besok, dan akan dilepas langsung oleh Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti dengan iring -iringan truk tangki sebanyak 15 armada,” tutup Bagus. (adh)