BERNASNEWS.COM — Dalam realitas sosial selama ini menunjukkan bahwa museum cendrung sepi pengunjung karena dianggap kurang menarik. Karena itu perlu membuat strategi bagaimana meningkatkan minat masyarakat untuk berkunjung ke museum dan bagaimana agar museum mendapat tempat di hati masyarakat.
Salah satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan mengelola museum secara kekinian dengan mengemas potensi museum secara menarik, atraktif dan sesuai kebutuhan kekinian. Kekinian dibaca karena target sasaran bukan diri sendiri tapi anak-anak milenial, anak-anak ahistoris atau anak-anak yang tidak peduli dengan sejarah. Museum harus dibuat menarik atau memiliki daya tarik, karena tujuan ke museum untuk wisata. Bila museum untuk tujuan edukasi maka tak masalah kalau tidak menarik.
“Bagaimana membuat nama museum Anda gampang diingat oleh generasi milenial, bukan generasi rambut putih. Kalau nama museumnya panjang ya harus disingkat supaya gampang diingat, seperti Jalan Kaliurang disingkat jakal, Jalan Godean jadi jago. Sebab kalau tidak maka museum benar-benar jadi museum yang sebenarnya, seperti kijing di kuburan. Orang datang paling setahun sekali untuk nyekar, itu pun karena di sana ada makanan,” kata Dr Sumbo Tinarbuko M.Sn, Dosen Komunikai Visual ISI Yogyakarta, pada seminar peringatan HUT ke-48 Badan Musyawarah Musea (Barahmus) DIY di Pendopo Tamansiswa Yogyakarta, Selasa (6/8/2019).
Dalam seminar dengan tema Peran Barahmus Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Mendatang itu, Dr Sumbo Tinarbuko mengatakan bahwa meski dikelola secara kekinian namun tetap pada akar budaya yang adiluhung karena apa pun yang disimpan di museum adalah representasi dari akar budaya yang adiluhung dalam konteks dimana museum yang Anda kelola. Sayangnya, menurut Sumbo Tinarbuko, museum dibaca hanya sekadar bangunan fisik, diserem-seremkan, ada menyan, ada kembang setaman, bukan dilihat sebagai entitas bertumbuh dan berkumpulnya benih peradaban. Padahal urusan museum adalah urusan peradaban.
“Kita yang ada di sini sebagai representasi contoh peradaban masa lalu dan kini yang akan dicatat untuk masa yang akan datang. Karena itu, kalau Anda ‘dibuang’ ke museum seharusnya berterima kasih karena di situ Anda bisa jathil dalam perspektif kebudayaan, berada dalam pusat peradaban,” kata Sumbo Tinarbuko.
Menurut dosen yang tampil nyentrik ini, pengelola museum perlu mengubah sikap dan ideologi dari konteks museum yang dikelola menjadi entitas bertumbuh dan berkumpulnya benih peradaban. Dan hanya pengelola museum yang bisa melakukan hal itu.
“Kepala dinas gak bisa karena urusi danais, Presiden juga gak bisa karena urusi yang lain. Kalau Anda tak bisa menumbuhkan dan menjadikan museum sebagai tempat berkumpulnya benih peradaban maka Anda harus ganti profesi yang cepat mendatangkan uang. Sebab berbicara peradaban adalah berbicara soal proses dan empati serta benih-benih dalam konteks kehidupan spiritual. Jangan omong peradaban tapi orientasinya pada proyek. Tetap harus ada uang tapi bukan dalam konteks proyek. Dalam hal ini uang dalam konteks untuk merawat peradaban,” kata Sumbo Tinarbuko.
Dikatakan, dalam konteks pengelolaan museum sebagai produk maka museum harus memiliki keunikan, harus dibicarakan oleh siapa pun karena keunikannya dan harus menjadi racun budaya dalam konteks positif sehingga setiap saat orang ingat atau mau berkunjung lagi.
“Rumuskan keunikan museum yang Anda miliki/kelola dan leisure actifity. Jadi bagaimana Anda memposisikan dan mengajak target sasaran agar waktu luang mereka tidak diisi di mall. Mungkinkah atau tidak, museum Anda diberi fasilitas wifi, mungkinkah atau tidak, museum Anda diberi tempat-tempat yang cukup menarik agar mereka (pengunjung) bisa melakukan aktifitas narsis berstrategi. Karena dengan anak-anak milenial melakukan narsis berstrategi maka yang terjadi secara mudah dan secara viral museum Anda diberitakan, ditayangkan di medsos. Ini yang harus Anda lakukan. Kalau tidak maka Anda cari anak-anak yang lebih muda untuk mengelola museum,” kata dosen berambut panjang ini.
Menurut Sumbo Tinarbuko, pengunjung harus diberi pengalaman sesuatu saat berkunjung ke museum, syukur kalau sampai pengalaman spiritual atas kedatangan mereka ke museum. Dengan begitu, Anda sedang membangun brand, membangun janji karena ketika mendatangi museum, mereka mendapatkan sesuatu. “Kalau ini bisa dlakukan terus-menerus maka saya yakin pasti ada perubahan gerak di museum Anda masing-masing,” kata Sumbo Tinarbuko.
Dikatakan, mengelola anak-anak milenial itu gampang karena mereka selalu tergantung pada ketua komunitasnya. Karena itu, cukup memegang ketua komunitas maka dengan mudah untuk mengarahkan anggota komunitas.
Pada bagian lain, Sumbo Tinarbuko mengatakan bahwa Sultan HB X mengingatkan siapa pun bahwa museum sekarang diposisikan menjadi bagian dari industri kreatif. Ketika diposisikan sebagi industri kreatif maka tingkat keunikan, diferensiasi atas produk itu harus ditampilkan, perlu membuat new brand, dengan mengemas potensi museum secara menarik, atraktif dan sesuai kebutuhan kekinian.
“Target sasaran bukan diri sendiri tapi pengunjung anak-anak milenial, anak-anak ahistoris, anak-anak yang tidak peduli dengan sejarah karena orangtuanya gak mengajari sejarah karena sibuk jadi budak korporat, budak industri yang datang pagi pulang sore. Sehingga yang disebut museum oleh anak milenial adalah mall. Kekinian menjadi garis bawah yang harus dipegang oleh pengelola museum,” kata Sumbo Tinarbuko seraya mengingatkan agar pengelola museum jangan seperti robot, fosil tapi harus gaul.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Museum Indonesia Drs Sigit Gunarjo yang membuka seminar mengharapkan agar Barahmus DIY bisa menjadi inspirasi bagi organisasi museum lainnya di seluruh Indonesia. Ia juga berharap anggota Barahmus DIY makin meningkat, lebih berkembang dan semakin diminati oleh seluruh masyarakat. Saat ini tak kurang dari 500 museum di Indonesia dan di DIY ada 38 museum yang menjadi anggota Barahmus DIY. (lip)