bernasnews – Kalurahan Hargomulyo, sebuah wilayah yang terletak di Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, kini menjadi sorotan. Wilayah ini menjadi salah satu daerah paling rawan terhadap tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan penyelundupan manusia (TPPM).
Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) berada di wilayah Hargomulyo, lalu banyak warga yang merupakan mantan pekerja migran Indonesia (PMI). Hal tersebut menjadikan wilayah ini sebagai titik strategis sekaligus rentan.
Langkah Penanganan
Untuk merespons kondisi tersebut, Kantor Imigrasi Kelas I TPI Yogyakarta menggandeng pemerintah desa dalam program Desa Binaan Imigrasi.
Langkah ini bertujuan membangun sistem deteksi dini dan memperkuat edukasi mengenai keimigrasian, khususnya dalam mencegah keberangkatan pekerja migran secara nonprosedural.
Ketua Tim Pembina Desa Imigrasi (Pimpasa), Yanuar Teguh Pratomo, menekankan pentingnya peran edukasi di tingkat kelurahan atau desa. Menurutnya, perangkat desa adalah pihak yang paling mengenal dinamika sosial masyarakat, termasuk potensi dan kerentanan warganya terhadap praktik TPPO.
“Apalagi proses menjadi pekerja migran Indonesia sering kali memerlukan persetujuan dari kelurahan. Maka dari itu, desa punya posisi strategis untuk mencegah praktik ilegal sejak awal,” ujar Yanuar.
Hargomulyo di Kulon Progo sebagai Desa Binaan
Ia menambahkan, Kalurahan Hargomulyo menjadi desa binaan karena secara geografis sangat dekat dengan YIA, menjadikannya sebagai titik lintasan potensial bagi pekerja migran ilegal.
Di desa ini, upaya edukasi keimigrasian menjadi prioritas guna memutus mata rantai sindikat penyalur tenaga kerja nonprosedural.
“Intinya, desa binaan ini menjadi sarana utama untuk penyebarluasan informasi dan sosialisasi keimigrasian dalam rangka pencegahan TPPO dan TPPM,” tambahnya.
Pelaksana Harian Lurah Hargomulyo, Anton Yunianto, mengapresiasi keterlibatan langsung pihak imigrasi dalam memberikan edukasi kepada masyarakatnya. Ia mengungkapkan bahwa dari sekitar 8.100 penduduk desa, cukup banyak yang memiliki pengalaman sebagai pekerja migran.
“Walau sekarang jumlahnya menurun karena ada regulasi baru yang mencabut izin untuk pekerja migran sektor domestik, tapi budaya migrasi masih melekat kuat di masyarakat kami,” kata Anton.
Ia mengakui bahwa minimnya pemahaman tentang prosedur legal sering kali membuat warga terjebak pada jalur-jalur pengiriman tenaga kerja yang tidak sah. Oleh karena itu, edukasi langsung di desa menjadi salah satu langkah konkret.
Sistem Komunikasi
Langkah konkret lain yang diambil oleh Kantor Imigrasi Yogyakarta adalah membentuk sistem komunikasi respons cepat di tingkat desa.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Imigrasi DIY, Junita Sitorus, menyebut bahwa pihaknya telah membangun grup komunikasi digital. Salah satunya melalui WhatsApp, untuk memfasilitasi koordinasi antarpemangku kepentingan desa.
“Grup WA ini jadi kanal komunikasi cepat antarperangkat desa dan pihak imigrasi. Setiap ada informasi warga yang hendak berangkat ke luar negeri, perangkat desa bisa langsung berkonsultasi,” jelas Junita.
Kanal ini tidak hanya menjadi alat pengawasan, tetapi juga sebagai sarana untuk mempermudah akses informasi warga terkait prosedur pengajuan paspor, legalitas keberangkatan, serta cara mengenali calo atau penyalur tenaga kerja bermasalah.
Menurut Junita, desa binaan adalah ujung tombak dalam mencegah keberangkatan pekerja migran ilegal. Melalui sosialisasi intensif dan komunikasi terbuka, warga belajar memahami pentingnya keberangkatan yang sesuai prosedur dan risiko besar jika memilih jalur ilegal.
“Program ini hadir untuk membimbing warga memahami prosedur permohonan paspor yang benar, pentingnya memegang paspor sah, dan cara mengidentifikasi risiko menjadi korban TPPO di negara tujuan,” ujar Junita.
Junita menyatakan bahwa program desa binaan ini telah menjangkau hampir seluruh kabupaten dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta. Edukasi ini terpadu, tidak hanya oleh pihak imigrasi, tetapi juga melibatkan dinas tenaga kerja, kepolisian, dan organisasi masyarakat.
Ia berharap pendekatan kolaboratif ini mampu memperkuat ketahanan sosial masyarakat desa terhadap ancaman perdagangan orang. Terlebih, masih banyak warga yang menganggap proses ke luar negeri bisa berlangsung dengan cara cepat tanpa prosedur resmi.
“Dengan edukasi yang tepat, masyarakat diharapkan tidak mudah tergiur bujuk rayu agen penyalur ilegal. Mereka jadi tahu, mana jalur yang aman dan mana yang bisa membahayakan masa depan mereka,” jelasnya.
Melalui kolaborasi lintas sektor dan pendekatan langsung ke masyarakat, Kalurahan Hargomulyo akan menjadi contoh desa tangguh dalam pencegahan TPPO dan TPPM.
Kesadaran warga terhadap pentingnya prosedur legal dan perlindungan diri saat merantau ke luar negeri menjadi modal utama dalam menciptakan desa yang aman dan terlindungi dari praktik kejahatan migrasi. (ef linangkung)