Fakta di Balik Dugaan Perundungan di SMPN 1 Playen: Kebiasaan Lama yang Meledak

SMP N 1 Playen/Foto: ef linangkung

bernasnews— Suasana SMP Negeri 1 Playen yang biasanya tenang mendadak bergemuruh oleh satu peristiwa, dugaan perundungan terhadap seorang siswa kelas VII berinisial JJ.

Kejadian yang berlangsung Rabu siang (23/4/2025) itu kini menjadi perbincangan hangat, tak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga menyebar cepat di media sosial dan masyarakat luas.

Di tengah sorotan publik yang mengarah pada pelaku perundungan, muncul suara lain yang mengungkap sisi berbeda dari insiden ini.

Fakta di Balik Dugaan Perundungan di SMPN 1 Playen

GMP, orang tua dari salah satu siswa kelas JJ, membeberkan fakta yang menurutnya selama ini terpendam.

Ia mengatakan bahwa JJ memiliki kebiasaan mengambil jajanan di kantin tanpa membayar terlebih dahulu—perilaku yang, katanya, sudah berlangsung cukup lama dan bahkan para guru mengetahuinya.

“Anak itu sering mencuri jajanan seperti itu, sebenarnya guru-guru sudah tahu,” ucap GMP saat ditemui, Jumat (25/4/2025). Pernyataan ini seolah menampar narasi tunggal yang beredar di luar sekolah.

Lebih lanjut, GMP menyebut bahwa pemilik kantin juga sempat mengeluhkan perilaku yang sama kepada beberapa siswa.

Bahkan, guru yang tinggal berdekatan dengan rumah JJ turut menyampaikan bahwa kenakalan ini bukan hal baru.

“Yang jelas kronologinya seperti itu. Saya kok melihat di media sosial, ceritanya jadi berbeda sama yang terjadi di sekolahan,” imbuh GMP, nada suaranya terdengar kecewa.

Ia juga menyayangkan keputusan orang tua JJ yang langsung mengumbar kasus ini ke media tanpa proses mediasi atau klarifikasi internal.

“Saya dengar malah dari pihak korban itu memang sengaja minta diekspos. Tujuannya apa, saya juga nggak tahu,” katanya.

Sementara itu, dalam pertemuan antara pihak sekolah dan orang tua, seorang guru turut mengungkap bahwa JJ hanya mendapat uang saku Rp2.000 setiap harinya. Jumlah itu tak cukup untuk membeli jajanan yang ia inginkan.

“Satunya (teman JJ) memang uang sakunya lebih, tapi ngambil Pop Mie tanpa bayar karena pengen nabung,” terang guru tersebut.

Pengakuan JJ

Meski begitu, peristiwa yang terjadi di kelas tetap meninggalkan trauma. JJ mengaku telah meminta izin kepada penjaga kantin untuk mengambil makanan lebih dulu dan akan membayar pada jam istirahat kedua.

Namun, izin itu tak cukup untuk meredam kemarahan seorang siswa kelas IX berinisial D yang tiba-tiba datang, menarik lengan dan menendang perutnya di depan teman-teman sekelas.

“Saya sudah jelaskan bahwa saya akan bayar, bahkan sudah bayar di jam kosong. Tapi dia nggak dengar. Malah saya diajak berkelahi,” tutur JJ dengan suara tertahan.

Situasi itu baru mereda setelah penjaga kantin melerai. Namun, peristiwa tersebut meninggalkan luka, bukan hanya secara fisik, tapi juga psikis—baik bagi korban, pelaku, maupun seluruh komunitas sekolah yang kini berada di tengah pusaran opini.

Apakah ini murni perundungan? Atau hasil dari akumulasi masalah yang selama ini tak pernah terselesaikan secara terbuka?

Kisah ini menyoroti pentingnya komunikasi yang jujur dan terbuka antara sekolah, orang tua, dan siswa.

Ketika kebenaran dibungkam dan hanya satu sisi ditonjolkan, yang muncul bukanlah keadilan, melainkan prasangka yang mengaburkan segalanya. (ef linangkung)