Suara Binatang Alami Ternyata Dapat Tingkatkan Kualitas dan Kuantitas Hasil Panen Petani

Penggunaan ABHS teknologi tepat guna yang menggunakan gelombang bunyi untuk meningkatakan kualitas pertumbuhan dan kuantitas hasil panen. (Foto: Istimewa)

bernasnews — Suara binatang alami (serangga) yang selama ini hanya dianggap menambah suasana syahdu alam pedesaan, ternyata di balik dari suara ada hikmah besar dari Sang Maha Pencipta. Suara serangga seperti garengpung, belalang kecek, orong-orong, jangkerik dan kinjeng tangis ternyata dapat meningkatakan kualitas pertumbuhandan kuantitas hasil panen.

Hasil dari penelitian tentang suara Binatang alami tersebut oleh para dosen FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta direkayasa dan diaplikasikan dalam bentuk perangkat Audio Bio Harmonic System (ABHS) merupakan teknologi tepat guna yang menggunakan gelombang bunyi guna meningkatakan kualitas pertumbuhan dan kuantitas hasil panen.

Menurut dosen Pendidikan Fisika FMIPA UNY Nur Kadarisman, M.Si, bahwa garengpung memiliki frekuensi suara 3256 Hz dan biasanya berbunyi pada pukul 07:00 hingga 10:00 WIB. “Frekuensi bunyi tertinggi yaitu 5253 Hz dimiliki belalang kecek yang berbunyi pada pukul 19:00 hingga 22:00 WIB,” tutur Nur Kadarisman, saat pelatihan dan pendampingan penggunaan teknologi Audio Organic Growth System atau ABHS guna meningkatkan kualitas dan produktivitas tanaman pertanian di Sokoliman I, Desa Bejiharjo, Kapanewon Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul.

Dikatakan, dengan modifikasi teknologi suara dapat mencapai frekuensi yang tepat sesuai dengan jenis tanaman pangan di Indonesia. ABHS ini memanipulasi peak frekuensi untuk mendapatkan resonansi dengan membran stomata sehingga stomata membuka.

“Teknologi gelombang suara digunakan untuk menyuburkan tanaman menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi antara 3.000 Hz-5.000 Hz dan dipadu nutrisi organik melalui daun,” ungkap Nur Kadarisman, dalam keterangan yang dikirim.

“Hasil penelitian secara spesifik menunjukkan bahwa tanaman kentang dengan pemaparan bunyi dengan frekuensi 3000 Hz mampu meningkatkan produksi sebesar 60 persen – 80 persen dengan teknologi ini,” imbuh dia.

ABHS pada dasarnya merupakan cara pemupukan daun (foliar) dengan pengabutan larutan pupuk yang mengandung trace mineral yang digabungkan serentak bersama gelombang suara frekuensi tinggi. Mulut daun hanya membuka dan menutup oleh perintah satu organ yang disebut guard cell.

“Perintah ini muncul sebagai respons terhadap kelembaban, suhu, dan atau cahaya. Gelombang suara merupakan gerakan mekanis yang mampu menggetarkan semua materi yang dilaluinya dengan frekuensi yang sama, peristiwa ini disebut resonansi,” papar Nur.

Suasana pelatihan pelatihan dan pendampingan penggunaan teknologi Audio Organic Growth System atau ABHS. (Foto: Itimewa)

Menurut dia, ABHS menggunakan teknologi tepat guna pada lahan tanaman dan akan memaparkan bunyi pada lahan tanaman pada pagi hari saat waktu fotosintesis selama satu jam pukul 07.00-08.00 atau 08.00-09.00 sampai panen dimana setiap jenis tanaman beresonansi pada peak frekuensi tertentu tergantung dari morfologi daun.

“Inovasi AHBS dari segi harga relatif sangat murah lantaran hanya mengeluarkan dana Rp 400.000 hingga Rp 600.000. Bandingkan dengan perangkat AOGS yang diproduksi saat ini yang kisaran harganya antara Rp 6 Juta sampai Rp 9 Juta. Inovasi lainnya adalah kesederhanaan dan kemudahan penggunaan dengan sumber energi memakai energi baterai charger dan tenaga surya,” beber Nur Kadarisman.

Pelatihan ini merupakan bagian dari usulan Pengabdian kepada Masyarkat (PKM) penugasan guru besar dan tenaga dosen struktural yang beranggotakan Prof. Agus Maman Abadi, Dr. Cahyorini Kusumawardani, Nur Kadarisman, M.Si dan Eko Widodo, M.Pd.

Ketua Tim PKM Prof Agus Maman Abadi berharap kegiatan ini dapat memberikan manfaat bagi petani karena mendapatkan pertumbuhan tanaman dan hasil panen yang lebih baik dibanding sebelum digunakannya teknologi ABHS.

Dalam kesempatan itu, Panewu Karangmojo Kawit Raharjanto, MM mengapresiasi dan merasa senang dengan program PKM oleh para dosen FMIPA UNY tersebut. Pasalnya memberikan kontribusi pemahaman pada petani tanaman pangan bahwa kontribusi hewan yang selama ini terabaikan ternyata sangat penting.

“Tidak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia karena bunyi dasar yang digunakan adalah suara binatang yang ada di lahan pertanian sekitar pemukiman warga. Ujungnya juga pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan menyehatkan warga lantaran mengkonsumsi hasil panen yang higienis. Harapannya kegiatan ini dapat mengubah perilaku petani dari pola tanam dan pemupukan tradisional menjadi penanaman modern berbasis teknologi yang ramah lingkungan,” ujar Kawit. (*/ ted)