bernasnews — Jogja memang Istimewa, menyimpan banyak potensi baik seni, budaya, pariwisata serta potensi khasanah kulinernya. Ada khuliner yang benar-benar tradisional merupakan bagian dari budaya tinggalan para leluhur. Juga ada jenis kuliner yang merupakan hasil akulturasi kuliner dari manca seperti dari China, India, Arab, dan Eropa.
Apabila ditlesik kuliner-kuliner khas ini ada cerita yang menarik dibaliknya, bahkan dari nama-nama atau sebutannya pun penuh makna filosofi di mana generasi kekinian sangat jarang yang paham tentang grastonomi ini. Salah satunya Sangga Buwana (Songgo Buwono, red), santapan yang lahir sebagai bentuk akulturasi bidang kuliner antara Jawa dengan Eropa, di mana kekinian kembali diekspos lantaran sudah jarang disajikan.
“Sangga Buwana merupakan salah satu santapan yang telah ada sejak akhir era bertakhtanya Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Tetapi, kuliner tersebut mulai banyak disajikan khususnya di era pemerintahan Sultan HB VIII,” terang Direktur Utama Bale Raos, Sumartoyo, seperti dikutip dari jogjaprov.go.id.
Dikatakan Sumartoyo, pada era Sultan HB VIII ini banyak tamu-tamu dan berbagai acara yang ada di Keraton Yogyakarta. Sultan HB VIII dalam menjamu tamu-tamunya merajakke (memanjakan). Para dijamu dengan makanan-makanan yang tidak mesti harus mewah, semacam steak dan sebagainya. Namun juga bisa diterima oleh semua lidah, baik itu lidah orang Belanda maupun bangsa kita.
“Nah, Sangga Buwana ini ada perpaduan antara masakan atau kuliner Eropa. Kalau dicermati dan mencecapnya, bahan-bahannya, memang sebetulnya lebih banyak pengaruh dari makanan Eropa,” jelas Toyo, sapaan akrab Sumartoyo.
Menurut dia, sebagai wujud akulturasi budaya di bidang kuliner, Sangga Buwana terdiri dari tiga susunan bahan utama yaitu soes, ragout, dan saus mustard Jawa. Soes (Sus, red) dikenal sebagai roti di masyarakat Eropa berbahan dasar tepung terigu yang diolah bersama mentega, telur, dan bahan lainnya. Alih-alih diisi dengan isian fla vanilla seperti soes pada umumnya.
“Soes pada Sangga Buwana diisi dengan ragout yang terbuat dari potongan-potongan aneka sayuran (kentang, wortel, bawang bombay, bawang putih) dan daging sapi atau ayam yang dibumbui,” papanya.
Sangga Buwana merupakan perpaduan antara masakan Eropa dengan acar sebagai garnish-nya. Acar sendiri banyak dikenal di masyarakat oriental (Tionghoa, red) maupun orang Jawa. Kemudian penyajiannya, Sangga Buwana yaitu soes yang diisi ragout, kemudian ada dressing-nya. “Kalau biasanya orang Eropa, dressingnya itu mayones, mustard, dan lain sebagainya. Kemudian ada pula perpaduan mustard dengan kuning telur,” ucap Toyo.
Sementara dressing Sangga Buwana merupakan kreasi saus mustard Jawa. Berbahan dasar mentega dan kuning telur rebus yang telah dihaluskan. Kemudian ditambahkan mustard, gula, dan garam yang diaduk rata. Selanjutnya ditambahkan susu yang diaduk dengan kekentalan yang diinginkan dan terakhir diberi perasan jeruk nipis.
Semua bahan kemudian disusun menjadi satu, mulai dari soes yang diisi ragout lalu disiram dengan saus mustard Jawa di atasnya. Sangga Buwana pun semakin lengkap dengan tambahan garnish berupa acar timun, daun selada, tomat dan potongan telur rebus.
Apabila dilihat dari segi kandung gizi, Sangga Buwana memang sangat lengkap. Proteinnya komplit baik hewani dan nabati. Juga ada karbohidratnya dari tepung dan sebagainya plus sayuran. Sebetulnya makanan Sangga Buwana itu bukan kategori junk food tetapi makanan berkualitas dan memiliki nilai gizi cukup. “Jadi generasi kenian, nggak usah minder dengan kuliner kita. Kalau di barat ada burger, kita punya Sangga Buwana yang itu hampir mirip,” ujar Toyo
Menurut dia, Sangga Buwana juga memiliki makna dibalik namanya. Dalam bahasa Jawa, Sangga berarti menyangga, sementara Buwana adalah dunia. Dengan demikian, secara umum, nama Sangga Buwana bermakna penyangga kehidupan. Simbolisasi bahwa kita menghidangkan jamuan makan itu pada acara-acara tertentu, utamanya seperti acara pernikahan yang punya makna dan harapan tertentu.
“Bahwa ada Sangga Buwana di suatu perhelatan pernikahan adalah bermakna menyangga kehidupan. Selanjutnya, banyak makanan-makanan yang ada di Jawa khususnya di Keraton, nama makanan, nama sesuatu itu pasti mempunyai maksud atau bermakna tertentu,” beber Sumartoyo.
“Dulunya Sangga Buwana memang disajikan untuk menjamu tamu-tamu dari Belanda, baik sebelum kemerdekaan maupun pasca masa kemerdekaan. Pasca kemerdekaan hidangan ini mulai dapat dijumpai di masyarakat umumnya pada acara atau pesta pernikahan,” lanjut dia.
Pada era tahun 50-60an dalam Masyarakat Jogja ada suatu keluarga menyelenggarakan perhelatan pernikahan menyajikan Sangga Buwono, bisa dipastikan kalangan tertentu. Pasalnya yang biasa atau bisa menikmati hidangan itu hanyalah dari kalangan tertentu saja.
“Dulu kan jamuan makan dalam pesta itu bukan standing party, melainkan duduk terkadang sembari menikmati tarian. Makanya sajian dimulai dari hidangan pembukanya, ada snacknya, kemudian ada Sangga Buwana sebagai starternya baru main course, dan sebagainya,” terang Toyo.
“Eksistensi kuliner Sangga Buwana di masyarakat sangat populer di era 50-60-an bahkan sampai 70-an. Namun dengan perkembangan zaman yang ada, kuliner tersebut sempat mengalami penurunan kepopuleran pada tahun 80-90an. Pada akhir tahun 90-an dan tahun 2000an inilah Sangga Buwana baru mulai banyak dikenal kembali,” pungkasnya.
Berdasar pengamatan bernasnews, bahwa salah satu usaha catering yang masih melestarikan kuliner Sangga Buwana ini adalah ‘Bu Wasi Catering’ yang berada di bilangan Kampung Langenastran, Njeron Benteng Kraton Yogyakarta. Sejak tahun 1974 hingga dikelola oleh generasi kedua masih mempertahankan citarasa tradisonal dengan sajian Istimewa. (ted)