News  

Dugaan Kecurangan Pemilu Tak Kunjung Diusut, LeSPK Sebut Perlu Literasi Demokrasi Yang Kuat 

Direktur Lembaga Studi Pendidikan dan Kebangsaan (LeSPK Yogyakarta), In’am el Mustofa. (Foto : Istimewa)

bernasnews –  Sejumlah gerakan masyarakat terus mendorong agar anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat menyuarakan desakan terhadap lembaga parlemen tersebut untuk menggulirkan hak angket terkait dugaan kecurangan yang terjadi di sepanjang Pemilu 2024.

Namun sayangnya, sejauh ini, usulan itu belum diikuti langkah konkret agar bisa digulirkan lebih lanjut. Menanggapi kondisi demokrasi yang kian runtuh tersebut, Direktur Lembaga Studi Pendidikan dan Kebangsaan (LeSPK Yogyakarta), In’am el Mustofa mengatakan perlu adanya literasi demokrasi yang kuat untuk mengembalikan arah parlementer ke jalan yang benar.

Apalagi saat ini, banyak euforia yang merayakan kemenangan pasangan calon nomor urut 2, Pranowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang hanya merujuk pada hasil quick count atau hasil sementara.

“Sebagian besar masyarakat terhenyak antara percaya dan tidak percaya. Semua saja baik mereka yang mendukung Anies, Prabowo dan Ganjar. Apa yang membuat mereka terhenyak, pertama karena hasilnya diluar ekspektasi,” kata Direktur Lembaga Studi Pendidikan dan Kebangsaan (LeSPK Yogyakarta), In’am el Mustofa, Jumat (8/3/2024).

“Kedua, meskipun itu hasil sementara, belum resmi, Masih menunggu dari KPU namun publik sudah terframing sedemikian rupa untuk menerima hasil sementara dari Quick Count dan Sirekap,” lanjutnya.

Padahal beberapa kejanggalan perhitungan yang ditayangkan satu persatu mulai tampak, baik yang ditampilkan oleh masyarakat umum, politisi partai politik, ahli IT dan pemantau pemilu. Terhenyak itu, kata dia seperti keadaan diluar nalar, sehingga menimbulkan pertanyaan sekaligus menyisakan ketidakpercayaan terhadap lembaga penyelenggara pemilu Bernama KPU. 

In’am juga menyoroti perkembangan KPU yang tidak  jauh berbeda. Bahkan justru menyuguhkan tontonan kinerja yang amburadul, sehingga kata dia, sudah tepat apabila hak angket itu dapat digulirkan.

“Ini memberi kesan bahwa KPU dalam tekanan besar oleh publik dan pemerintah yang keduanya membawa kepentingan. Saya kira itu yang melatar belakangi ide Hak Angket,” ucap dia.

In’am menuturkan rakyat tidak menghendaki kalah menangnya sebuah angket. Rakyat hanya berharap DPR ada kesungguhan untuk meneliti, memeriksa terkait pelaksanaan pemilu yang ditenggarai paling buruk dalam sejarah politik Indonesia. 

“Hal buruk jika adanya begitu harus disanksi jangan dibiarkan melenggang tanpa ada akuntabilitas,” tegasnya.

Alih-alih menyinggung DPR yang setengah hati dalam penggunaan Hak Angket itu, In’am menyebut bahwa Ketua DPR RI saja tidak menampakkan diri saat agenda sidang paripurna tersebut.

Selain itu, gelagat Megawati juga tal menunjukkan sikap dan arahan kepada partai politik terkait Hak Angket secara khusus, lalu Surya Paloh dipanggil istana dan lain-lain. Artinya rakyat hanya disuguhkan oleh tari-tarian amatiran para politisi. 

“Sikap seperti itu jelas akan membesarkan gairah gerakan rakyat, rakyat menjadi ‘neg’ dengan keangkuhan Presiden. Keadaan ini cepat atau lambat akan melahirkan people power. Mungkin saja banyak yang mencibir dan meremehkan akan hal ini, tapi siapa sangka Soeharto dapat jatuh dengan sokongan gerakan massa. Padahal Soeharto waktu itu full power!,” pungkasnya. (lan)