News  

Masyarakat Kelas Menengah Hingga Bawah Dinilai Masih Terabaikan oleh Pemerintah 

Pemerhati Masalah Sosial, Ekonomi dan Kesehatan, Dra Prima Sari FLMI soroti masyarakat kelas menengah-bawah yang masih terabaikan. (Foto : Istimewa)

bernasnews – Angka kelas menengah di Indonesia terus meningkat. Merujuk laporan Bank Dunia ‘Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class’, kelas menengah di Indonesia tumbuh 10 persen setiap tahunnya, satu dari setiap lima orang Indonesia saat ini adalah bagian dari kelas menengah.

Namun, status ekonomi yang tanggung, alias tidak miskin tetapi juga tidak kaya, membuat mereka nyaris terabaikan dan rentan kembali jatuh miskin. Sehingga Pemerintah perlu lebih memperhatikan kebutuhan kelompok ini akan ekonomi yang lebih berkualitas sebelum keresahan sosial memuncak.

Hal itu disampaikan oleh Pemerhati Masalah Sosial, Ekonomi dan Kesehatan, Dra Prima Sari FLMI dimana ia menyebut masyarakat kelas menengah yang sudah tidak lagi hidup di bawah garis kemiskinan itu  bisa saja jatuh miskin jika sewaktu-waktu terjadi guncangan, contohnya pada saat pandemi covid-19, kemarin.

Meski rentan, kelompok ini tidak tersentuh program perlindungan sosial yang saat ini lebih difokuskan bagi mereka yang miskin dan masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

”Saya tidak bicara kelompok menengah-atas, tetapi kelas menengah-bawah yang sangat mungkin jatuh miskin dan tidak mendapat perlindungan sosial. Ke depan, seiring dengan meningkatnya income per kapita kita dan turunnya penduduk miskin ekstrem, kelompok ini akan menjadi yang paling terimbas,” ujar Pemerhati Masalah Sosial, Ekonomi dan Kesehatan, Dra Prima Sari FLMI.

Prima menilai, jika jumlah kelas menengah terus meningkat, tetapi kebijakan ekonomi pemerintah masih fokus pada angka pertumbuhan ekonomi semata, keresahan sosial bisa saja terjadi. Mengelola ekonomi sampai 2045 akan lebih rumit karena naiknya kelas menengah.

Kebijakan fiskal dan ekonomi seharusnya secara umum mulai mesti memperhatikan kelas menengah, khususnya menengah-bawah. 

“Mengelola ekonomi sampai 2045 akan lebih rumit karena naiknya kelas menengah. Dari sekarang harus mulai dipikirkan kebijakan seperti apa yang bisa memenuhi concern mereka. Tidak bisa hanya fokus pada growth dan pengentasan kemiskinan ekstrem,” kata caleg DPR RI tersebut.

Prima menambahkan kelompok kelas menengah di sektor informal ini benar-benar menjadi ‘petarung’ dalam kesehariannya. Semua biaya-biaya untuk hidup benar-benar disangga secara mandiri, seperti iuran BPJS, tunjangan transportasi, pendidikan, dan sebagainya.

“Mereka ini adalah kelompok yang benar-benar mandiri. Orang Jawa biang ‘Ora obah ora mamah’. Maka negara harus hadir di tengah-tengah mereka,” ucapnya.

Lebih lanjut, ada tiga rekomendasi yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan kelas menengah ini. Yang pertama, menurutnya, Indonesia perlu mempercepat pertumbuhan produktivitas dengan membuat kebijakan yang bisa membuka inovasi dan kreativitas masyarakat dengan lebih luas. 

Harapannya, ini bisa membantu pertumbuhan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) maupun usaha rumah tangga untuk juga bisa berkembang.

Kedua, Indonesia perlu menggencarkan promosi investasi di sektor yang menciptakan banyak lapangan pekerjaan kelas menengah, salah satunya sektor manufaktur. Ketiga, memberikan fasilitas untuk pembelajaran dan pelatihan yang mumpuni, khususnya untuk para perempuan dan usia muda serta angkatan kerja harus dibekali dengan keterampilan yang bisa diberi lewat pelatihan serta edukasi. Karena itu kelompok kelas ini perlu ada perlindungan dari negara yaitu perlindungan pendidikan dan kesehatan, sehingga ada keyakinan untuk terus bekembang.

“Indonesia baiknya fokus dalam mengikutsertakan lebih banyak perempuan dalam angkatan kerja. Kesetaraan ini akan membuka peluang baik bagi perempuan maupun laki-laki untuk mendapatkan penghasilan,” pungkasnya. (lan)