News  

Indonesia Dance Festival Bakal Suguhkan Lima Karya Tari Dalam Tajuk Lawatari di Jogja

Indonesia Dance Festival Bakal Suguhkan Lima Karya Tari Dalam Tajuk Lawatari di Jogja. (Foto : Wulan/ bernasnews)

bernasnews – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi kota ketiga yang dilawat oleh Indonesian Dance Festival dalam rangka program Lawatari usai sebelumnya sukses digelar di Makassar dan Padang Panjang.

Penggagas dari Mila Art Dance Lab, Mila Rosinta Totoatmojo mengatakan program tersebut digagas agar tetap terhubung dengan pegiat di berbagai sentra seni pertunjukan Indonesia melalui pementasan karya. Di Yogyakarta sendiri, bakal ada lima karya tari yang disuguhkan untuk masyarakat yang hadir menyaksikan.

Mila menyebut sebagai perempuan seniman tari, dirinya kerap mengalami langsung tantangan berbagi peran dalam konteks domestik dan profesional. Hal inilah yang mendorongnya untuk memulai RIKMA (Ruang Inisiatif Karya Bersama) untuk berproses bersama perempuan seniman muda yang memiliki semangat besar untuk berkarya.

“Lawatari: Yogyakarta ini adalah platform yang baik untuk memperkenalkan karya-karya mereka pada praktisi dan pencinta tari,” kata Penggagas dari MAD Lab, Mila Rosinta Totoatmojo dalam jumpa pers yang digelar, Jumat (19/1/2024), malam.

Adapun para pengisi program Lawatari di Yogyakarta ini antara lain Valentina Ambarwati, Siti Alisa, Agung Gunawan, Sri Cicik Handayani, Ni Putu Arista Dewi, Megatruh Banyu Mili, Maria Renata Rosari, Scholastica W. Pribadi, Anter Asmorotedjo, Linda Mayasari, Mila Rosinta Totoatmojo, Nia Agustina.

Salah satu kegiatan yang menarik adalah adanya seri program pertunjukan di tiga kota dalam kolaborasi dengan mitra lokal. 

Mila menuturkan dengan mengusung nama Lawatari yang dibentuk dari kata “lawat” dan “tari”, program ini berangkat dari semangat berkunjung dan mengenal konteks lokal di kantong- kantong seni pertunjukan di beberapa wilayah Indonesia.

“Kami punya banyak potensi-potensi seniman perempuan karena memang MAD laboratorium khusus untuk perempuan dikarenakan ekosistem seniman perempuan untuk berkarya sebagai koreografer ataupun kreator itu banyak sekali tantangannya,” ucap dia.

Lebih lanjut, Mila mengajak masyarakat khususnya para pencinta seni untuk tidak selalu menikmati pertunjukan dengan cuma-cuma seperti yang banyak disuguhkan di Yogyakarta.

Lawatari bakal digelar mulai dari 20-21 Januari 2024  di Studio Banjarmili dimana akan diawali dengan Lokakarya Seni Tata Kelola: ‘Merakit Ruang untuk Tumbuh Bersama’ dengan pengampu Linda Mayasari dan Maria Renata Rosari (keduanya IDF). Malam harinya pertunjukan menampikan ‘Atandang’ karya Sri Cicik Handayani, ‘Budi Bermain Boal’ (Megatruh Banyu Mili), dan ‘Ganda’ (Valentina Ambarwati), 

Sementara Minggu (21/1) diawali pukul 10.00-12.00 Masterclass: ‘Metode Latihan Martinus Miroto’ dengan pengampu Agung Gunawan (penari) dan Anter Asmorotedjo (koreografer. Malam hari pertunjukan karya ‘Suun’ (Putu Aristadewi) dan In Cycle (Siti Alisa).

Senada dengan hal tersebut, Inisiator Paradance Platform, Nia Agustina mengatakan, IDF mencoba memahami konteks di masing-masing daerah yang dikunjungi termasuk di Yogyakarta.

Program Lawatari: Yogyakarta adalah kesempatan bagi kami – Paradance Platform, IDF, MAD Lab, dan Studio Banjarmili untuk saling melihat cara kerja dari masing-masing dalam visi bersama mendukung koreografer muda. 

“Ini dapat menjadi awal yang baik untuk menyadari bahwa dengan infrastruktur dan alam kesenian terutama seni tari di Indonesia, kita perlu melakukan kerja yang saling terhubung untuk mendukung karya seorang seniman,” tutur dia.

Salah satu pengisi Lawatari, Sri Cicik Handayani mengatakan bakal menyuguhkan tarian dengan  membaca ulang relasi dan tegangan tatapan antara penonton (penayub) yang didominasi laki-laki terhadap penari (tanda) perempuan (juga sebaliknya) dalam peristiwa kesenian tayub melalui karya Atandang. 

In Cycle oleh Siti Alisa merayakan berbagai siklus biologis yang dialami perempuan dalam koneksinya dengan nilai-nilai moral, relasinya dengan alam, serta diri sendiri.

“Seluruh karya saya berangkat dari kesenian tayub Madura. Karya terakhir ini akan lebih berfokus pada relasi yang hadir dari penayub terhadap perempuan tanda. Yang akhirnya saya analisa lebih dalam dari karya Atandang ini adalah bagaimana sih perempuan tanda memaknai laki-laki penayub, dan bagaimana laki-laki penayub memaknai perempuan tanda dalam peristiwa menari,” ucap Cicik 

Sementara Valentina Ambarwati menerjemahkan peran ganda perempuan buruh gendong di Pasar Beringharjo, Yogyakarta beserta beserta perjalanan emosional dan fisiknya.

“Yang saya garis bawahi adalah peran ganda di perempuan,” kata dia.

Ada pula Budi Bermain Boal karya Megatruh Banyu Mili menjadi salah satu dari beberapa karyanya yang lahir dari refleksi pribadi dan pengamatan tentang pendidikan siswa Sekolah Dasar di Indonesia di era 1980-2000an.

Karya ini bakal ditampilkan Megatruh dimana bakal menggunakan metode spesifik dalam proses bersama penari saat membentuk karya ini.

Lalu, Suun karya Ni Putu Arista Dewi mengangkat relasi perempuan dan kuasa melalui kegiatan membawa barang di atas kepala (suun) yang merupakan bagian dari keseharian perempuan Bali.

“Karya ini merupakan salah satu hasil penelusuran jangka panjangnya menyoal konteks budaya Bali, yang beberapa praktiknya dianggap merugikan perempuan. Ia menggunakan cerita personal dirinya dan ibunya sebagai pintu untuk mengenal realita budaya ini,” pungkasnya. (lan)