BERNASNEWS.COM — Warisan budaya bisa diberdayakan melalui pendekatan ekonomi kreatif, dengan memanfaatkan teknologi yang berbasis kreativitas, demikian disampaikan Rektor Universitas Widaya Mataram (UWM) Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M Ec dalam Simposium Nasional dalam rangka Dies Natalis ke-39 UWM, Sabtu (2/10/2021).
Simposium Nasional yang diselenggarakan secara daring dengan tema Warisan Budaya dalam Perspektif Sejarah dan Film, menghadirkan menghadirkan dua pembicara lainnya, GKR Mangkubumi, Penghageng Kraton Ngayogyakarta dan Sutradara Film Nasional Hanung Bramantyo.
Prof Edy menyatakan, bahwa digitalisasi warisan budaya dan strategi pemasaran merupakan bagian dari karakter ekonomi kreatif. “Saat ini adalah era digitalisasi, bagaimana digitalisasi menjual objek warisan sejarah. Pemasaran warisan budaya Yogyakarta tidak mungkin dipasarkan secara konvensional,” ungkapnya.
Dikatakan, digitalisasi warisan budaya dan pemasarannya bisa lebih memberikan manfaat riil dalam bidang ekonomi dan kepentingan penggalian ilmu pengetahuan, selain dampak positif pada sisi pelestarian budaya itu sendiri. “Warisan budaya juga penting untuk dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan lokal atau tradisional,” tegas Guru Besar Ekonomi itu.
Jika warisan budaya itu tidak dilestarikan atau berkurang jumlahnya, tegas Prof Edy, warisan budaya perlahan-lahan tentu akan berdampak tidak baik bagi DIY, terutama dalam rangka membentuk karakter dan menguatkan jati diri anak bangsa.
Dalam kesempatan tersebut, Prof Edy juga menjelaskan tema Dies Natalis Ke-39 UWM, bahwa tema kali ini adalah ‘Hamemayu Hayuning Widya Mataram’ yang dalam uraiannya ia menjelaskan bahwa pihaknya ingin terus mendorong bagaimana universitas ini ikut memercantik, memperindah, memelihara, melestarikan yag baik dari alam ini, dan peduli pada problematika global yang terkait kemanusiaan, isu-isu kebangsaan.
“Sinergi
kebudayaan dan pariwisata di Yogyakarta harus berimbang agar tercipta keselarasan
antara tujuan pencapaian keuntungan
finansial dan kelestarian warisan budaya, khususnya warisan budaya di berbagai
kawasan Kraton Yogyakarta,” tandas Prof Edy.
Sementara itu, GKR Mangkubumi menyatakan, bahwa Kraton Yogyakarta, Pemerintah Pusat maupun Pemda DIY mempunyai kesepakatan bersama agar kita kembali menjaga warisan budaya. “Pengembangan fasilitas pariwisata dalam bentuk pembangunan jalan tol, rel kereta, dan fasilitas lainnya, disesuaikan dengan peta wilayah warisan budaya (Kraton Yogyakarta),” ujarnya.
Menurut putri sulung Sultan HB X ini, sinergi kebudayaan dan pariwisata harus seimbang, baik dari segi kepentingan kebudayaan maupun manfaat bagi masyarakat. “Ketika kita mempertahankan warisan budaya ada pengakuan misalnya pengakuan dari Unesco. Kegiatan pariwisata (ritmenya) tinggi, maka hotel, fasilitas pendukung pariwisata dibangun,” bebernya.
Permasalahanya, lanjut GKR Mangkubumi, sering kali pembangunan fasilitas pariwisata itu menggerus warisan budaya. Sementara warisan budaya seharusnya ditata, dijaga, tetap sesuai bentuk aslinya agar cagar budaya tetap utuh sekaligus mendatangkan keuntungan finansial. “Maka pengembangan pariwisata jangan menggerus keberadaan warisan budaya,” tegasnya.
Lulusan Griffith University, Queensland, Australia itu juga menyoal tentang pengembangan fasilitas pariwisata yang melibatkan lebih banyak pihak asing. “Mempertahankan warisan budaya sebagai pekerjaan susah. Kalau yang terlibat dalam membangun itu orang Indonesia, pasti wajahnya tidak jauh berbeda dengan bentuk aslinya,” bebernya.
“Kita tidak perlu alat canggih dalam melestarikan warisan budaya, tetapi dengan orang Indonesia yang banyak terlibat, kita percaya semua bisa menjaga keutuhan warisan budaya,” ujar GKR Mangkubumi.
Komitmen pemerintah sangat penting dalam proses pelestarian budaya. Sikap pemerintah pusat harus memperlakukan seluruh warisan budaya adalah setara, tidak meninggikan dan memprioritaskan warisan budaya di daerah tertentu, misalnya Bali. “Kita berbicara warisan budaya, mengapa pemerintah Indonesia mengutamakan Bali, bagaimana penghargaan warisan budaya di Yogyakarta?,” tanya GKR Mangkubumi.
“Penataan warisan budaya terdapat masalah sosial. Itu bisa diatasi ketika semua saling memahami makna dan itu membutuhkan upaya edukasi dan sosialisasi,” imbuhnya.
Sementara dalam Simposium Nasional tersebut, Hanung Bramantyo lebih banyak mengulas soal peran film dalam sejarah manusia dan bagaimana film menjadi bagian melestarikan warisan budaya di level global maupun nasional. Dalam paparannya Hanung menyampaikan bahwa dengan menggunakan penemuan teknologi bernama kamera, seseorang dapat merekam kejadian nyata yang hidup di masyarakat.
Kejadian tersebut oleh pencipta film dimanfaatkan untuk menciptakan trick yang didukung oleh editing, special effect, musik, dekorasi, kostum, dan para aktor berbakat. “Sehingga merangsang imajinasi dan perasaan penonton yang ditampilkan lewat serangkaian cerita yang menyentuh, yang pada khirnya penonton merasa kagum, simpatik dan meyakini bahwa kejadian yang ada di film merupakan kejadian sesungguhnya,” ujar sutradara yang sering meraih penghargaan itu. (nun/ ted)