BERNASNEWS.COM – Berbicara tentang kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tentang amandemen UUD 1945, yang harus diperhatikan adalah bahwa Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) harus dimasukkan dalam UUD 1945. Hal itu mengingat setiap pergantian rezim, pemerintah dan pergantian menteri selalu terjadi perubahan kebijakan secara drastis.
Pernyataan itu diutarakan Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) dalam pemaparan pengantar diskusi, Rabu (11/12/2019) di Pendopo Agung Universitas UWM. Acara diskusi merupakan kerjasama My Esti Wijayati Anggota DPR RI dan MPR RI dengan UWM. Turut hadir dalam diskusi para Wakil Rektor, petinggi fakultas dan mahasiswa UWM. acara diskusi digelar dengan tema Penyerapan Aspirasi Masyarakat tentang Kewenangan MPR berdasarkan UUD 1945.
Menurut Edy, GBHN menjadi hal penting karena saat ini tidak memiliki haluan negara sehingga yang muncul justru kebijakan-kebijakan yang sifatnya useless. Salah satu isu amandemen juga dianggap kebablasan lantaran akan memperpanjang periode presiden hingga 3 periode.
“Dari forum ini saya berharap bisa menyatukan opini kita dan kalau ada amandemen maka harus bersifat substantif,” kata mantan Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) itu.
Hal substantif dalam amandemen itu, lanjut Edy, harus aspek yang memang dibutuhkan untuk pelaksanaan kestabilan sehingga negara menjadi lebih baik, utamanya GBHN sebagai nomenklatur yang muncul di UUD sehingga para menteri memiliki pegangan yang benar.
Dekan Fakultas Hukum (FH) UWM, Kelik Endro Suryono, SH., M.Hum mengatakan diskusi digelar sebagai hasil kerjasama My Esti Wijayati dan UWM dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat tentang kewenangan MPR RI yang akan diatur dalam amandemen UUD 1945.
Dalam pemaparan materi, Esti selalu pembicara pertama memaparkan kedudukan MPR sebelum amandemen, pasca reformasi dan sesudah amandemen. Sebelum amandemen kedudukan MPR yang merupakan lembaga tertinggi negara memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Kekuasaan yang besar tersebut dikarenakan MPR adalah pelaksana kedaulatan rakyat Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945.
“Kewenangan MPR setelah amandemen diantaranya mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden/Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD,” terang Esti.
Esti menjelaskan rekonstruksi kewenangan MPR dalam era reformasi diantaranya menetapkan pokok-pokok haluan negara sebagai pedoman penyelenggaraan negara dan arah pembangunan nasional, membuat Ketetapan MPR yang bersifat mengatur (regeling), memberikan tafsir atas UUD 1945. Selain itu, MPR diberi wewenang menyelenggarakan sidang tahunan sebagai forum kenegaraan penyampaian laporan kinerja lembaga-lembaga negara kepada rakyat dan penyusunan rekomendasi MPR bagi lembaga-lembaga negara tersebut.
Muhammad Fikri Alan,S.H.,M.H pembicara kedua menerangkan amandemen dilakukan dengan alasan bahwa UUD 1945 pada dasarnya memang di desain sebagai Konstitusi yang bersifat statis. Disamping itu, UUD 1945 saat ini dirasa perlu dilakukan perubahan yang disesuaikan dengan perkembangan ketatanegaraan nasional.
“Poin penting perubahan UUD 1945dapat dilakukan denganpenguatan kembali MPR, Lokus Otonomi berada di Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Pengakuan Desa dalam Konstitusi, Penegasan lembaga negara yang berwenang untuk mengadili sengketa Pilkada dan Penghapusan Presidential Threshold,” kata Fikri.