Lomba Jemparingan Tradisonal 2019, Memperebutkan Piala HB

BERNASNEWS.COM — Jemparingan merupakan olah raga panahan khas Kerajaan Mataram, berbeda dari olah raga panahan pada umumnya yang dilakukan sambil berdiri. Jemparingan dilakukan dengan duduk bersila dengan mengenakan busana tradisonal yang hingga kini olah raga ini masih dilestarikan, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta.

Asal usul Jemparingandi Kasultanan Yogyakarta, atau juga dikenal sebagai Jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta, dapat ditelusuri sejak awal keberadaan Kasultanan Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), sebagai raja pertama Kasultanan Yogyakarta, mendorong segenap pengikut dan rakyatnya untuk belajar memanah sebagai sarana membentuk watak kesatria.

Y. Susilo selaku Humas Lomba Jemparingan 2019, Kamis (26/9/2019), melalui keterangan tertulis kepada Bernasnews.com, menjelaskan, berkaitan dengan upaya pelestarian Jemparingan gaya Mataram tersebut, Dinas Pariwisata DIY menyelenggarakan Festival Wisata Budaya Invitasi Jemparingan Memperebutkan Piala HB Tahun 2019, Sabtu (28/9/2019), pukul, 07:00 – 15:00 WIB, di Alun-alun Selatan (Alkid), Kraton, Yogyakarta.

“Kegiatan tersebut didukung oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat,  Kampung Wisata Budaya Langenastran dan Paseduluran Jemparingan Langenastro. Dengan kegiatan ini diharapkan Gladhen Jemparingan bisa menjadi salah satu daya tarik wisata budaya di DIY,” jelas Susilo.

Kanjeng Raden Temenggung (KRT) Radyo Wisraya selaku Koordinator Pengarah (steering committee), menerangkan, watak kesatria yang dimaksudkan adalah empat nilai yang harus disandang oleh warga Yogyakarta. Seperti nilai-nilai yang diperintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono I guna dijadikan pegangan oleh rakyatnya tersebut.

“Keempat nilai yang diperintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk dijadikan pegangan oleh rakyatnya tersebut adalah sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh. Sawiji berarti berkonsentrasi, greget berarti semangat, sengguh berarti rasa percaya diri, dan ora mingkuh berarti bertanggung jawab,” tutur KRT Radyo Wisraya.

Dengan tujuan pembentukan watak sawiji itulah, menurut KRT Radyo Wisraya, Jemparingan tampak sangat berbeda dengan panahan lain yang berfokus pada kemampuan pemanah untuk membidik target dengan tepat. Pemanah Jemparingan gaya Mataram tidak hanya memanah dalam kondisi bersila, namun juga tidak membidik dengan mata. Melainkan busur panah diposisikan mendatar di hadapan perut, sehingga bidikan panah didasarkan pada perasaan pemanah.

“Seiring dengan perkembangan zaman, Jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta pun berkembang. Hingga kini terdapat berbagai cara memanah ataupun bentuk sasaran yang dibidik. Namun semuanya tetap berpijak pada filosofi awal Jemparingan sebagai sarana latihan konsentrasi dan tidak meninggalkan cara memanah sambil duduk bersila,” imbuh KRT Radyo Wisraya.

Gladhen atau lomba Jemparingan  dalam rangka memperebutkan Piala Hamengku Buwono (HB) tersebut diikuti oleh 500 peserta, yang merupakan perwakilan anggota Paguyuban/ Paseduluran Jemparingan se Jawa – Bali. Dengan pengelompokan gladhen sebagai berikut, Gladhen Jemparingan Umum/ Dewasa (Putra/ Putri), Gladhen Terbatas Jemparingan Gagrak Mataram (Jegulan), dan Gladhen Terbatas Jemparingan Kelompok Anak-anak. (ted)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *