Keunikan Plengkung Gading: Gerbang yang Tak Boleh Dilewati Sultan Yogyakarta yang Masih Bertahta

Plengkung Gading atau Plengkung Nirbaya yang tidak boleh dilewati Sultan ketika masih hidup/

bernas news – Plengkung Gading merupakan salah satu gerbang bersejarah di Yogyakarta yang menyimpan makna dan tradisi unik.

Terletak di sebelah selatan Keraton Yogyakarta, plengkung ini bukan hanya menjadi bagian dari benteng pertahanan, tetapi juga memiliki aturan adat yang mengikat Sultan yang sedang bertahta.

Keunikan ini menjadikan Plengkung Gading sebagai salah satu ikon budaya yang sarat akan nilai historis dan mistis.

Sejarah dan Fungsi Plengkung Gading

Plengkung Gading dibangun sebagai bagian dari sistem pertahanan Keraton Yogyakarta. Dalam arsitektur Jawa, “plengkung” berarti gerbang yang melengkung, sementara “gading” merujuk pada warna putih kekuningan yang mendominasi bangunan ini.

Gerbang ini dahulu berfungsi sebagai akses keluar-masuk bagi iring-iringan kerajaan, terutama dalam prosesi yang berkaitan dengan adat istiadat Jawa.

Plengkung Gading merupakan salah satu dari lima plengkung utama yang mengelilingi Keraton Yogyakarta, selain Plengkung Tarunasura (Wijilan), Plengkung Jagasura (Ngasem), Plengkung Madyasura (Buntet), dan Plengkung Jayabaya (Gondomanan).

Namun, dari kelima plengkung tersebut, hanya Plengkung Gading yang memiliki aturan khusus bagi Sultan yang sedang berkuasa.

Larangan bagi Sultan yang Masih Bertahta

Salah satu keunikan terbesar Plengkung Gading adalah larangan bagi Sultan Yogyakarta yang masih bertahta untuk melewati gerbang ini.

Aturan ini berkaitan dengan kepercayaan dan filosofi Jawa yang menyebutkan bahwa Plengkung Gading hanya boleh dilalui oleh Sultan dalam perjalanan terakhirnya, yaitu saat prosesi pemakaman menuju Makam Raja-raja di Imogiri.

Menurut kepercayaan yang berkembang, jika Sultan yang masih hidup melintasi Plengkung Gading, maka hal tersebut dapat membawa kesialan atau bahkan menjadi pertanda buruk bagi pemerintahan dan kehidupannya.

Oleh karena itu, Sultan yang masih bertahta selalu menghindari gerbang ini dan memilih rute lain ketika harus melewati area selatan Keraton Yogyakarta.

Makna Filosofis di Balik Larangan

Kepercayaan ini tidak lepas dari konsep kosmologi Jawa yang sangat erat dengan siklus kehidupan. Dalam budaya Jawa, perjalanan hidup seseorang dibagi menjadi beberapa tahap, termasuk kelahiran, kehidupan, dan kematian.

Plengkung Gading dianggap sebagai gerbang menuju alam keabadian, sehingga hanya boleh dilewati oleh Sultan dalam perjalanannya menuju peristirahatan terakhir di Imogiri.

Selain itu, Plengkung Gading juga mencerminkan nilai-nilai luhur tentang kepemimpinan. Sultan yang masih memegang tampuk kekuasaan diyakini harus selalu menjaga harmoni dan keseimbangan dunia, sementara Plengkung Gading melambangkan akhir dari perjalanan duniawi dan awal dari perjalanan menuju kehidupan setelah mati.

Plengkung Gading Sebagai Destinasi Wisata Sejarah

Hingga kini, Plengkung Gading tetap menjadi salah satu destinasi wisata sejarah yang menarik bagi wisatawan yang ingin memahami lebih dalam budaya dan filosofi Keraton Yogyakarta.

Keunikan gerbang ini serta larangan bagi Sultan yang sedang bertahta menambah daya tarik tersendiri bagi pengunjung.

Di sekitar Plengkung Gading, pengunjung juga bisa menemukan berbagai bangunan bersejarah, seperti Alun-Alun Kidul yang terkenal dengan tradisi berjalan di antara pohon beringin, serta kompleks Keraton Yogyakarta yang menyimpan banyak kisah tentang kejayaan Mataram Islam.

Plengkung Gading bukan sekadar gerbang biasa, tetapi memiliki nilai historis dan adat yang masih dijaga hingga saat ini.

Larangan bagi Sultan yang masih bertahta untuk melewati gerbang ini menunjukkan bagaimana tradisi dan filosofi Jawa masih sangat dihormati dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta.

Bagi para wisatawan dan pecinta sejarah, mengunjungi Plengkung Gading bisa menjadi pengalaman yang memperkaya wawasan tentang budaya dan kearifan lokal yang telah bertahan selama berabad-abad.

***