bernasnews — Tradisi apeman, ngapem atau membuat kue apem jelang bulan Ramadan atau bagi masyarakat Jawa menyebutnya bulan Ruwah sudah semakin jarang dilakukan. Bahkan kue apem sebagai kue tradisional yang berbahan dasar dari tepung beras, gula Jawa dan santan ini pun telah terdesak oleh keberadaan kue-kue kekinian dari manca.
Pada tahun 1970an tradisi apeman (ngapem) di wilayah nJeron Beteng Kraton Yogyakarta masih sangat terasa dan menjadi pertanda telah memasuki bulan Ruwah berdasar kalender penanggalan Jawa, karya dari Sultan Agung, Raja Mataram Islam. Sementara menurut kalender Islam disebut bulan Syahban.
Pada bulan Ruwah saat sore hari, di sudut-sudut perkampungan akan terlihat sekumpulan ibu-ibu dan suara alu bertalu-talu, di mana mereka membuat tepung beras sebagai bahan utama untuk membuat apem. Sungguh sebuah kearifan lokal yang bermakna sangat dalam bagi kehidupan sosial kemasyarakatan.
Apem-apem yang dibuatnya selain untuk sesaji mengenang para leluhur, yang kemudian dikonsumsi untuk keluarga. Juga ada sebagian apem-apem untuk hantaran kepada tetangga sekitarnya, minima tetangga lima pancer yang terletak di kiri kanan dan muka belakang rumah.
Keunikan lain dari tradisi ngapem ini seperti tukar-tukaran apem antar tetangga. Perihal cita rasa apem pun tentu berbeda antara buatan tetangga yang satu dengan tetangga lainnya. Selain bahan dalam pembuatan tepung berbeda juga kepiawaian memasaknya. Tidak seperti sekarang tepung beras pun telah menjadi kemasan dibuat oleh pabrik secara masal.
Apeman atau ngapem merupakan salah satu tradisi kuliner yang kaya akan makna filosofis dan nilai budaya. Sebagai bagian dari warisan budaya Jawa, apeman tidak hanya mempertahankan rasa dan kelezatan, tetapi juga mengandung doa dan harapan yang baik bagi kehidupan. Apem bagi orang Jawa dimaknai songsong (Payung) sebagai permohan perlindungan.
Selain itu juga ada yang menyebutkan apem dari bahasa Arab, dari kata afuun yang artinya ampunan. Namun yang jelas dengan melestarikan tradisi ini berarti menjaga jati diri dan budaya bangsa. Kue apem lengkap dengan ketan serta kolak, yang terdiri kolak pisang raja dan kolak ubi selalu disajikan dalam hantaran setiap diselenggarakan selamatan maupun syukuran.
Sebuah bukti bahwa leluhur kita sejak dulu telah menanamkan agar kita suka berbagi dengan sesamanya. Dengan melestarikan giat budaya yang penuh filosofi ini berati menghormati nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur. Sungguh sangat disayangkan apabila hilang oleh tergerus zaman. Tradisi apeman atau ngapem juga dapat dikemas untuk kepentingan pariwisata budaya di wilayah nJeron Beteng Kraton Yogyakarta. (ted)