Papan Sangatan: Papan “Ajaib” bagi Petani Jawa, Begini Fungsinya!

Penampakan Papan Sangatan, milik Wrasinem warga Bantul. (Foto: Humas Pemda DIY)

bernasnews – Para leluhur atau tetua Nusantara pada umumnya dan leluhur orang Jawa khususnya, dalam bidang teknik pertanian atau bercocok tanaman ratusan tahun sebelum ilmu teknologi pertanian kekinian diterapkan telah mengenal ilmu yang disebut Pranata Mangsa.

Pranata Mangsa berasal dari kata ‘pranata’ berarti aturan dan ‘mangsa’ berarti masa atau musim. Dengan kata lain, Pranata Mangsa adalah aturan waktu yang digunakan para petani dan masyarakat Jawa sebagai penentuan atau mengerjakan sesuatu pekerjaan.

Panduan kalender berbasis peredaran matahari yang unik ini mengajarkan para petani lebih sensitif terhadap perubahan alam yang terjadi. Sistem kalender ini merupakan kearifan lokal yang digunakan dalam menentukan musim bercocok tanam.

Perhitungan kalender Pranata Mangsa membagi tahun menjadi 12 musim atau mangsa. Perhitungan ini didasarkan pada peredaran matahari yang menyebabkan perubahan musim. Kalender Pranata Mangsa ini umumnya ditulis dalam sebuah buku/ kitab yang disebut primbon atau diukir pada media papan kayu yang disebut Papan Sangatan.

Papan Sangatan adalah papan kayu berbentuk persegi yang memiliki pegangan pada satu sisi, berukir pada bagian permukaan. Sepintas bentuk fisik dari sangatan menyerupai talenan (Jawa, telonan) atau papan kayu yang digunakan sebagai alas memotong.

Bentuk ukiran pada bidang permukaannya merupakan gambar sebuah tabel, yang dibubuhi tanda berupa titik atau bentuk simbol lainnya yang disusun sedemikian rupa sehingga memiliki makna dan kegunaan tertentu bagi ahli penghitung wuku.

Salah satu pemilik Papan Sangatan yang masih mempergunakan untuk menghitung saatnya musim tanam, adalah Wasinem (74 tahun), warga RT 02 Dusun Lungguh Kalurahan Temuwuh Kapanewon Dlinggo, Kabupaten Bantul, DIY.

“Papan Kitab Pranata Mangsa (Papan Sangatan) ini merupakan benda warisan turun temurun yang dari kakek. Jadi saya tidak tahu asalnya dari mana karena hanya peninggalan dari orang tua. Ada dua papan yang ditinggalkan yaitu papan besar yang terbuat dari kayu Jati Gembol dan papan kecil dari kayu Galih Asem yang berwarna coklat kehitaman,” kata Wasinem, dikutip dari jogaprov.go.id.

Papan Sangatan milik Wasinem terdapat pahatan pada kedua permukaannya yaitu bagian atas dan bawah. Pahatan yang terdapat pada Papan Sangatan tersebut berbentuk kotak-kotak yang disusun secara teratur menyerupai tabel.

“Pahatan tersebut memiliki fungsi sebagai alat untuk menghitung wuku. Di dalam pahatan yang berbentuk kotak tersebut terdapat tanda-tanda yang berupa titik-titik, bulat, garis miring, dan tanda silang,” ungkap dia.

Wasinem kesehariannya berprofesi sebagai petani dan ibu rumah tangga mengaku, bahwa dirinya mengetahui papan Pranata Mangsa tersebut untuk menghitung wuku dari sang kakek. Suaminya pun sempat meneruskan keahlian kakeknya sebagai penghitung wuku namun tak berjalan lama.

Setelahnya, Wasinem menggantikan sang suami lantaran juga bisa menggunakan alat tersebut. Apabilan tidak digunakan, Papan Sangatan dimasukkan ke kain putih selayaknya menyimpan pusaka lalu disimpan di lemari.

“Percaya nggak percaya, papan inilah yang memilih siapa yang bisa menggunakan. Di rumah ini hanya saya yang bisa menggunakan papan Pranata Mangsa, anak saya tidak bisa. Saya pun berusaha menjaga papan ini dan menyimpannya dengan baik serta digunakan untuk tujuan baik,” pungkasnya.

Papan untuk menghitung saat bercocok tanam ini sudah tidak banyak dimiliki oleh masyarakat alias langkasehingga perlu dilestarikan sebagai salah satu karya budaya alat tradisional Jawa, warisan nenek moyang yang tentunya dapat menjadi kajian khasanah budaya lebih lanjut. (ted)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *