BERNASNEWS.COM – Menyoal Malioboro meski kekinian suasana berbeda karena ketiadaan Pedagang Kaki Lima (PKL), ruas jalan sepanjang lebih kurang satu kilometer itu tetap menjadi magnit bagi wisatawan. Tampak jalan lejen dan menjadi salah satu ikon wisatanya Jogja, Minggu (6/2/2022), lalulintas padat merayap dan pendestrian juga lumayan dipadati oleh pengunjung.
Berdasar pengamatan Bernasnews.com, ruas jalan Malioboro yang merupakan bagian dari Sumbu Filosofi Yogyakarta Sebelah Utara, tetap saja masih menarik untuk dikunjungi. “Menurut saya, jalan-jalan di Malioboro malah tambah asyik dan lega rasanya. Kalau mau cari pernak pernik khas Jogja, ya tinggal menuju ke sentralnya PKL, di Teras Malioboro 1 atau 2,”ungkap Bu Sri saat ditanya oleh Bernasnews.com.

Ibu berputra dua itu menambahkan, bahwa selama ini ia kalau berkunjung hanya sebatas belanja kebutuhan rumah tangga atau beli sesuatu di sebuah toko yang ada di sepanjang Jalan Malioboro. “Untuk jalan-jalan bisa dikatakan jarang karena terus terang saya nggak suka uyel-uyelan, apalagi kemarin awal-awal pandemi. Baru ini saja karena pingin lihat suasana yang baru,”ujarnya.
Ada yang menarik untuk dicermati, dengan tiadanya lapak-lapak PKL, beberapa toko katagori legend atau sudah lama berdiri di Malioboro banyak yang merubah atau menambah barang dagangan (diversifikasi) berupa pernak-pernik makanan maupun souvenir khas Jogja. Misalnya, seperti bakpia, geplak, tshirt, daster batik, dan sebagainya.
Sementara itu, Bu Martini seorang PKL yang menempati tlasar lantai 2 Teras Maliobo 1 mengatakan, bahwa empat hari sejak diresmikan, barang dagangan berupa busana batik lumayan sudah banayk yang laku meskipun pengunjung belum seramai ketika membuka lapaknya di trotoar Jalan Malioboro.
“Di sini setiap pedagang ditata selang-seling macamnya, samping kanan saya berjualan pigura foto dan yang kiri berjualan hiasan dari logam. Hanya sayangnya luas lapak hanya berkisar satu meter persegi, tapi saya tetap optimis akan ramai (laris),” terang mbak Ini, sapaan akrab Martini.
Seperti telah diketahu, bahwa Sumbu Filosofi yang merupakan sumbu imajiner ini tidak lepas dari keberandaan Kraton Yogyakarta, baik dari budaya maupun kesatuan arsitektur keseluruhan bangunan termasuk ruas jalan (Jalan Margomulyo, Malioboro, dan Marga utama) yang membentang menghubungkan Kraton hingga Tugu Pal Putih. Sumbu Filosofi telah dicatatkan sebagai warisan budaya tak benda pada UNESCO, yang penilaiannya akan dilakukan pada tahun 2022.
Menurut buku The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan (Kundho Kabudayan) DIY, kata Malioboro berasal dari bahasa Jawa maliyo atau ‘perubahan menjadi wali’ dan bara dari kata ngumbara atau ‘melakukan perjalanan’. Di dalam konteksnya, Malioboro artinya harus berjalan di jalan kebajikan dan memilih ajaran wali sebagai wali seseorang. (ted)