BERNASNEWS.COM – Paguyuban Chattra Kebaya menggelar pameran aneka jenis kebaya bertajuk “Roepa Kebaya” di Tiga Roepa Galeri & Cafe Jalan Pandega Marta Raya Yogyakarta, 17-31 Juli 2020. Pameran dilakukan sebagai salah bentuk kepedulian Chattra Kebaya terhadap budaya dan jatidiri bangsa Indonesa.
“Pameran Roepa Kebaya berupaya untuk menghadirkan kembali memori serta semangat terhadap budaya dan seni yang sempat meredup selama pandemi ini. Zaman boleh berganti, waktu boleh berlalu, namun kecintaan kita terhadap seni dan budaya harus terus menerus dipupuk. Jika bukan kita, siapa lagi? Semangat berkarya bagi negeri,” kata MC Esti Riestianingsih, Ketua Paguyuban Chattra Kebaya, Kamis (16/7/2020) malam.
Menurut MC Esti Riestianingsih, melalui pameran ini Paguyuban Chattra Kebaya berharap dapat menambah kekayaan budaya dan seni di Jogja serta ikut melestarikan kebaya pada khususnya dan mempertahankan jati diri Indonesia pada umumnya dengan kegiatan-kegiatan positif dan produktif yang terkait dengan kebaya dan budaya untuk Indonesia yang lebih harmoni di masa pandemi ini. Hal ini juga selaras dengan tujuan Tiga Roepa Galeri & Cafe milik Dennis Purito Yapsir yang mendedikasikan galeri untuk mendukung keberlangsungan seni dan budaya.
Dikatakan, model kebaya yang dipamerkan adalah Kebaya Kartini dan Kebaya Kutubaru serta Kebaya variasi seperti baju kurung dengan potongan lurus dan sedikit longgar. Kebaya variasi seperti baju kurung ini dikenal di luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Ternate, Maluku dan NTB. Model kebaya dan jenis bahan terus berubah dari waktu ke waktu, berkembang sesuai kepribadian pemakainya.
Penggunaan kebaya di pulau Jawa dimulai oleh perempuan kalangan bangsawan bersamaan dengan masuknya agama Islam sehingga para perempuan Jawa yang biasa menggunakan kemben hingga masa kerajaan Majapahit menggantinya dengan busana yang lebih tertutup. Model dan bentuk kebaya berubah dari masa ke masa, di masa Ken Dedes (tahun 1200-an) meskipun tetap menutupi tubuh, pola kebaya digunting mengikuti lekuk tubuh perempuan.
Bahan yang digunakan sebagai kebaya juga bervariasi, mulai dari kain-kain halus seperti sutra yang menjadi pilihan para bangsawan, hingga tekstil biasa atau kain tenun seperti lurik yang harganya terjangkau. Bahan kebaya yang lebih transparan serta penggunaan teknik sulaman, pemendekan batas bawah kebaya, model guntingan akhir yang meruncing ke depan dipengaruhi oleh datangnya Belanda serta budaya yang dibawa para pedagang Cina terutama yang telah dipengaruhi budaya Portugis. Gusti Nurul dan Gusti Putri, seorang putri dan permaisuri keraton Mangkunegaran dikenal sebagai panutan modifikasi model kebaya Jawa di era 1960-an.
Ketika masuk area Galeri, pengunjung pameran “Roepa Kebaya” disuguhkan dengan koleksi kebaya warisan Eyang Putri. Kebaya yang dipamerkan berusia 1920-1970-an serta foto-foto lama Eyang Putri tahun 1970-an saat menggunakan kebaya-kebaya tersebut. Bersanding dengan koleksi jadoel galeri, pengunjung pameran diajak untuk kembali ke waktu lampau.
Beberapa koleksi jam weker dan foto-foto disandingkan untuk menghadirkan makna tentang hidup dan kehidupan. Seperti jarum jam, hidup dan kehidupan akan terus berputar hingga pada masanya nanti akan berhenti. Meski demikian, semangat para penerusnya tidak boleh berhenti, termask di masa pandemi Covid-19 ini.
Ide pembentukan Paguyuban Chatta Kebaya sendiri bermula dari minat dan passion yang sama terkait dengan budaya Indonesia terutama kebaya. Sebanyak 10 perempuan yang memiliki profesi yang berbeda berinisiatif mendirikan paguyuban ‘Chattra Kebaya’ yang merupakan paguyuban yang berusaha untuk meneguhkan identitas nasional yang berprinsip pada nilai logika, etika dan estetika atau Cipta Rasa Karsa. Chattra berarti Sarana berpikir dan Kebaya berarti keagungan dan keanggunan.
Pendiri Paguyuban Pecinta dan Pemerhati Kebaya terdiri atas Ibu MC Esti Riestianingsih yang merupakan seorang pengusaha dan pecinta Kebaya dalam kesehariannya. Kemudian, 9 wanita lainnya adalah Ibu Ninik, seorang designer terkenal di Jogja dengan brand N-Workshop, drg Fitri Arini seorang Dokter Bedah Mulut yang saat ini tinggal di Tegal.
Kemudian, Caterina Hapsari, mantan pramugari Garuda Indonesia International Flight serta official judge Putri Indonesia DIY, Ayu Cornellia–CEO Cornelia & Co Human Resources Training & Research-Consultant Agency serta Marketing Communication trainer di beberapa perusahaan multinational dan Runner Up 2 Duta Museum DIY 2014, Maria Vita Puji-seorang pemerhati budaya dan seni yang juga Humas Rumah Sakit Panti Rapih serta penggiat pola makan sehat alami, Veronica Febrina yang juga pemerhati budaya dan seni saat ini tinggal di Jakarta, Agnes Primadhani-seorang guru yang sering memakai kebaya ketika mengajar, Renny Kusumawardhani-seorang Penyiar di Radio Sonora dan tour leader yang selalu menggunakan kebaya dalam aktivitasnya, dan Nusieta Ayu Primadian – Runner Up 2 Duta Museum DIY 2015 dan aktivis di banyak kegiatan budaya dan sejarah anak muda di Jogja.
Menurut Esti, sudah banyak kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok perempuan ini untuk lebih melestarikan kebaya dalam keseharian supaya Jati Diri Bangsa Indonesia tidak hilang. Selain itu, sering menjadi pembicara dalam kelas-kelas budaya di beberapa universitas, networking dengan organisasi atau komunitas budaya lainnya serta kedepannya akan lebih aktif melestarikan kebaya serta ornamen budaya dan sejarah lainnya di Indonesia.
Paguyuban Chattra Kebaya diresmikan pada 21 Maret 2017 di N-Workshop Jalan Suryodiningratan No 37B Yogyakarta diawali dengan Pagelaran Wayang Interaktif Kontemporer dengan dalang Dr Purwadi M.Hum dengan lakon ‘Banowati Ngadi Busono’ yang berisi tentang perjuangan wanita untuk memperkenalkan jatidiri dan kepribadian bangsa. Kisah ini sesuai dengan makna Chattra Kebaya.
“Paguyuban ini tidak hanya untuk perempuan tetapi para pria yang peduli dengan Kebaya serta ornamen budaya dan sejarah lainnya,” kata Esti. (Maria Vita Puji, seorang pemerhati budaya dan seni yang juga Humas Rumah Sakit Panti Rapih serta penggiat pola makan sehat alami)