BERNASNEWS.COM — Olah raga panahan khas Kerajaan Mataram yang dikenal dengan sebutan jemparingan sangatlah berbeda dari olah raga panahan pada umumnya yang dilakukan sambil berdiri. Jemparingan dilakukan dengan duduk bersila dengan mengenakan busana tradisonal, hingga kini olah raga ini masih dilestarikan, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta.
Peserta Jemparingan dari Bali yang diikuti oleh 15 perserta, dewasa, remaja dan anak-anak. (Tedy Kartyadi/ Bernasnews.com)
Jemparingan merupakan olah raga yang penuh filosofi, sehingga tampak sangat berbeda dengan panahan lain yang berfokus pada kemampuan pemanah untuk membidik target dengan tepat. Pemanah Jemparingan gaya Mataram tidak hanya memanah dalam kondisi bersila dan juga bukan membidik berdasar penglihatan mata semata. Melainkan busur panah diposisikan mendatar di hadapan perut, sehingga bidikan panah didasarkan pada perasaan pemanah.
Tari Pujiwati ikut memeriahkan Festival Wisata Budaya Invitasi Jemparingan Memperebutkan Piala Raja HB 2019, di Alun-alun Selatan (Alkid), Kraton, Yogyakarta. (Tedy Kartyadi/ Bernasnews.com)
Dalam rangka upaya pelestarian Jemparingan gaya Mataram tersebut, Dinas Pariwisata DIY dan didukung oleh Kraton Yogyakarta, Kampung Wisata Budaya Langenastran dan Paseduluran Jemparingan Langenastro, Sabtu (28/9/2019), jam 09:00 – 15:00 WIB, menyelenggarakan Festival Wisata Budaya Invitasi Jemparingan Memperebutkan Piala Raja HB 2019, di Alun-alun Selatan (Alkid), Kraton, Yogyakarta.
Paniradya Pati Drs. Beny Suharsono, MSi mewakili Gubernur DIY menyerahkan Piala Raja HB kepada Kepala Dinas Pariwisata DIY Singgih Raharjo, SH, MEd untuk diperebutkan dalam acara Gladhen Jemparingan 2019. (Tedy Kartyadi/ Bernasnews.com)
Gubernur DIY dalam sambutan yang dibacakan oleh Drs. Beny Suharsono, MSi selaku Paniradya Pati, mengatakan, bahwa ada beberapa harapan yang termaksud dalam tujuan penyelenggaraan ini, yaitu, Pertama, mengenalkan memberikan pemahaman peningkatan kesadaran bagi generasi muda dan masyarakat terhadap tradisi kuno seni memanah yaitu jemparingan. Kedua, menumbuhkan kesadaran masyarakat dan generasi terhadap pelestarian budaya warisan luluhur. Dan ketiga, meningkatkan apriasi sekaligus mengembangkan budaya warisan leluhur jemparingan sebagai falsafah hidup untuk membentuk watak baru.
Para Abdidalem Kraton Yogyakarta turut serta Gladhen Jemparingan Memperebutkan Piala Raja HB 2019. (Tedy Kartyadi/ Bernasnews.com)
“Budaya mempunyai pertalian yang erat dengan kearifan lokal, dalam suatu budaya kearifan lokal turut larut di dalamnya, meskipun kearifan lokal pada satu budaya pasti berbeda dengan budaya lainnya. Karena sesuai dengan pengalaman manusia, tetapi esensi dari kearifan lokal tetap sama yaitu buah dari kecerdasan umat manusia. Kenyataan yang ada saat ini, kearifan lokal seni dan budaya kita semakin tergerus oleh budaya moderen, sehingga jati diri suatu kelompok pelan tapi pasti juga mulai luntur,” terang Beny.
Gladhen atau lomba Jemparingan dalam rangka memperebutkan Piala Raja Hamengku Buwono (HB) tersebut diikuti oleh 500 peserta, yang merupakan perwakilan anggota Paguyuban/ Paseduluran Jemparingan se Jawa – Bali. Dengan pengelompokan gladhen sebagai berikut, Gladhen Jemparingan Umum/ Dewasa (Putra/ Putri), Gladhen Terbatas Jemparingan Gagrak Mataram (Jegulan).
Sedangkan Gladhen Terbatas Jemparingan Kelompok Anak-anak, terbagi dalam tiga kelas, yaitu Kelas Indria untuk peserta dari kelas 3 Sekolah Dasar (SD) ke bawah, Kelas Pratama, 4-6 SD, dan Kelas Madya untuk kelas 7- 9. Kepersertaan kelompok anak – anak selain dari perseorangan dan perwakilan komunitas, juga ada perwakilan dari sekolah. (ted)