Contoh Kumpulan Studi Kasus PPG 2025: Refleksi Nyata dari Dunia Pendidikan

Ilustrasi Contoh Kumpulan Studi Kasus PPG 2025/Unsplash

bernasnews – Simak kumpulan studi kasus PPG 2025 yang menggambarkan pengalaman nyata guru dalam menghadapi beragam dinamika di kelas. Cocok sebagai referensi untuk jenjang SD, SMP, dan SMA.

Dalam proses Pendidikan Profesi Guru (PPG) 2025, salah satu tugas penting yang diberikan kepada para peserta adalah penulisan studi kasus.

Tugas ini bukan sekadar formalitas, melainkan sarana bagi guru untuk menyampaikan pengalaman riil yang mereka alami selama mengajar. Studi kasus memberikan gambaran bagaimana guru mengidentifikasi masalah pembelajaran, menyusun strategi penanganan, serta melakukan refleksi terhadap hasilnya.

Studi kasus biasanya ditulis maksimal 500 kata dan mencerminkan dinamika nyata yang terjadi di ruang kelas. Melalui tugas ini, guru tidak hanya diuji dari segi pedagogik, tetapi juga dari segi empati, kreativitas, dan kemampuan reflektif.

Berikut ini adalah kumpulan contoh studi kasus yang relevan untuk guru dari jenjang Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.

Contoh Studi Kasus PPG

1. Mengatasi Keributan di Kelas Saat Mengajar
Suasana kelas yang tidak kondusif menjadi tantangan ketika saya mengajar kelas VIII di awal semester. Beberapa siswa cenderung gaduh, bercanda, bahkan mengabaikan pelajaran. Peneguran langsung hanya memberikan dampak sesaat.

Untuk memahami penyebabnya, saya melakukan observasi perilaku siswa dan menemukan bahwa metode mengajar saya terlalu satu arah.

Saya pun beralih ke pendekatan yang lebih melibatkan siswa, seperti diskusi kelompok dan kuis interaktif. Tak hanya itu, saya juga berbicara secara personal dengan siswa yang sering ribut. Ternyata mereka merasa jenuh dan tidak merasa diperhatikan.

Dengan pendekatan yang lebih personal dan metode pembelajaran aktif, suasana kelas berangsur membaik. Mereka menjadi lebih tertarik belajar dan mulai menghargai proses pembelajaran.

2. Menangani Siswa Hiperaktif di Sekolah Dasar
Saat mengajar kelas IV, saya menemui siswa yang sangat aktif secara fisik dan verbal. Perilakunya sering mengganggu teman-temannya. Awalnya saya merasa kesulitan dan mencoba menegurnya, namun tidak ada perubahan.

Setelah berdiskusi dengan guru BK dan mempelajari lebih lanjut tentang anak hiperaktif, saya mulai menerapkan pendekatan yang lebih tepat. Saya memberinya peran aktif di kelas, seperti membagikan tugas atau menjadi ketua kelompok. Saya juga menerapkan sistem penghargaan untuk perilaku positif.

Lambat laun, ia menjadi lebih terkontrol dan mulai mampu mengikuti pembelajaran dengan lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap karakter siswa sangat penting untuk keberhasilan proses belajar.

3. Membantu Siswa Pendiam agar Lebih Percaya Diri
Mengajar Bahasa Indonesia di SMA mempertemukan saya dengan Reyhan, siswa kelas X yang sangat pendiam. Ia jarang berpartisipasi dan menghindari interaksi.

Setelah mencari tahu latar belakangnya, saya tahu bahwa Reyhan pernah mengalami perundungan saat SMP. Saya mencoba mendekatinya secara personal dan memberinya ruang untuk berekspresi melalui tulisan. Saya juga memberi peran sesuai kenyamanannya dalam kelompok.

Sedikit demi sedikit, Reyhan menunjukkan keberanian untuk berinteraksi. Bahkan di akhir semester, ia membacakan puisinya di depan kelas. Ini membuktikan pentingnya pendekatan empatik dalam mendidik siswa.

4. Mengatasi Siswa yang Kurang Bertanggung Jawab terhadap Tugas
Dika, siswa kelas VIII, dikenal cerdas tetapi hampir tidak pernah mengumpulkan tugas. Setelah saya ajak berdialog, saya memahami bahwa ia tinggal bersama neneknya dan tidak mendapat bimbingan belajar di rumah.

Saya bantu Dika membuat jadwal belajar dan menyesuaikan bentuk tugas dengan minatnya. Saya juga memberi pujian setiap kali ia menunjukkan kemajuan. Strategi ini berhasil. Ia mulai lebih disiplin dan bersemangat mengerjakan tugas.

5. Menumbuhkan Motivasi Belajar di Kalangan Siswa SMP
Ketika menghadapi siswa kelas VII yang terlihat tidak berminat belajar, saya melakukan pendekatan informal dan mendapati bahwa mereka merasa pelajaran tidak relevan dengan kehidupan mereka.

Saya mengubah metode pembelajaran dengan mengaitkan materi pelajaran dengan hal yang mereka sukai, seperti membuat video tutorial dan proyek berbasis minat. Respons mereka berubah: mereka menjadi lebih antusias dan partisipatif.

6. Menghadapi Siswa yang Sering Melanggar Aturan Sekolah
Siswa A dikenal sering membolos dan melanggar tata tertib. Saya coba dekati secara pribadi dan menyadari bahwa ia mengalami kesepian karena kurang perhatian dari orang tua.

Saya ajak ia ikut ekstrakurikuler dan memberinya tanggung jawab kecil di kelas. Dalam beberapa minggu, ia menunjukkan perubahan positif. Ini menjadi pelajaran penting bahwa pendekatan manusiawi lebih efektif daripada hukuman semata.

7. Menangani Ucapan Kasar dari Siswa
Sebagai guru Bahasa Inggris SMP, saya pernah menghadapi siswa yang sering berkata kasar. Teguran di kelas justru membuatnya semakin tertutup.

Saya coba pendekatan personal dan mengetahui bahwa ia mengalami tekanan di rumah. Saya buat aturan bahasa bersama siswa dan memberikan contoh positif. Hasilnya, ia mulai mengendalikan ucapannya dan menunjukkan kemauan untuk berubah.

8. Membantu Siswa Baru Beradaptasi
Seorang siswa pindahan tampak kesulitan beradaptasi di kelas IV SD. Saya menyambutnya setiap pagi dan melibatkannya dalam aktivitas ringan. Saya juga mendorong siswa lain untuk menjadi pendampingnya.

Dalam waktu singkat, ia mulai menunjukkan keterbukaan, aktif dalam diskusi kelompok, dan lebih percaya diri. Ini membuktikan pentingnya menciptakan lingkungan kelas yang inklusif dan suportif.

Studi kasus dalam PPG 2025 tidak hanya menguji kemampuan mengajar guru secara teknis, tetapi juga menggambarkan bagaimana seorang guru bisa menjadi figur yang memahami, mendampingi, dan memfasilitasi pertumbuhan siswa secara utuh.

Setiap contoh di atas menjadi bukti bahwa keberhasilan pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh materi, tetapi juga oleh kedalaman relasi antara guru dan siswa.

***