News  

Kawasan Sumbu Filosofi Malioboro Jadi Rujukan Kota Cirebon Kembangkan Nilai Wisata Sejarah

Diskusi DPRD DIY bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon. (Foto : Wulan/ bernasnews)

bernasnews – Kawasan sumbu filosofi Malioboro rupanya menjadi salah satu rujukan bagi Kota Cirebon dalam mengembangkan nilai wisata yang ada di wilayahnya. Hal ini disampaikan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, Agus Sukmanjaya.

Agus mengungkapkan pihaknya ingin mencontoh Pemerintah Daerah (Pemda) DIY dalam mengelola sektor kebudayaan dan pariwisata yang tidak lepas dari nilai-nilai sejarah yang menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal maupun asing berkunjung. Apalagi kawasan Malioboro dengan penataan pedestrian yang rapi itu membuatnya berhasil menjadi lokasi wajib dikunjungi saat berlibur di Yogyakarta.

“Kita tentunya ingin seperti Yogyakarta yang mampu mengembangkan sumbu filosofi sebagai bagian dari bagian dari pariwisata tanpa meninggalkan sejarah,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon, Agus Sukmanjaya.

Kota Cirebon menyadari bahwa sisi pariwisata yang berlandas sejarah dan budaya menjadi keunggulan yang harus dimaksimalkan. Meski saat ini, tetap ada refocusing anggaran namun keberpihakan pada pemeliharaan museum dan tempat-tempat budaya tetap menjadi utama.

Selain itu, mereka juga mendorong hadirnya ruang publik yang menjadi pusat anak muda berkumpul. Karenanya butuh penyusunan strategi yang mantap untuk mengatasinya. Dari sisi keramaian, Agus menyampaikan bahwa Kota Cirebon tak kalah padat. Hanya saja, ruang publik itu memang perlu ditambah dan dibuat menarik seperti Malioboro.

“Sebetulnya orangnya sudah ada cuman sekarang mereka adanya di dalam di dalam mal, di dalam cafe, di dalam rumah makan dan lain sebagainya. Hampir sama dengan di Malioboro misalnya kelebihan dari Malioboro itu ada ruang publik yang memang nyaman untuk dibuat nongkrong sebenarnya buat belanja batik di sana batik dengan batik di Cirebon juga mirip-mirip lah. Kuliner saya pikir kuliner Jogja dengan kuliner Cirebon juga punya keunggulan masing-masing traffic-nya kita sudah ada yang kurang apa? ruang publik,” ungkapnya.

“Maka kami berikhtiar bagaimana jika ada sebuah perencanaan yang terpadu dari sebuah stakeholder, mungkin nanti ada resiko pengurangan ruas jalan, tetapi ada penambahan pedestrian yang itu kita akan tambahkan. Mungkin itu ornamen yang tematik Cirebon kemudian yang nyaman untuk nongkrong dan lain sebagainya dan effortnya saya pikir tidak butuh terlalu berat karena traffic crowdnya sudah ada,” sambung dia.

Dari sisi event sendiri, Agus menuturkan jika sebelumnya event yang digelar di kota itu hanya berskala lokal, maka kedepan akan dikembangkan minimal ke tingkat provinsi, nasional, atau bahkan internasional.

Tahun ini, Pemkot akan menyelenggarakan lima festival, baik yang berbasis budaya maupun ekonomi kreatif. Selain itu Pemkot membuka ruang-ruang publik baru yang dapat dijadikan destinasi wisata. Meskipun luasnya tidak terlalu besar, ruang-ruang publik ini memiliki potensi untuk menarik wisatawan karena berbasis edukasi lingkungan, heritage, serta berbagai aktivitas lainnya.

“Kami melakukan ekspos, kami menegaskan bahwa perlu ada penguatan anggaran di sektor ini. Sebab, sektor ini dapat menjadi salah satu cara untuk menyeimbangkan defisit anggaran yang timbul akibat efisiensi perjalanan dinas,” imbuhnya.

Sementara Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto menyampaikan hal senada. Di tengah isu refocusing program Pemda DIY dan efisiensi anggaran tersebut, dia sepakat bahwa pendidikan sejarah tidak boleh ditinggalkan.

Kata dia, Pemerintah, termasuk di daerah mestinya tidak hanya fokus perut kenyang bagi generasi muda melalui program MBG. Otak dan jiwa mereka pun perlu dikenyangkan dengan pembelajaran sejarah melalui pengembangan museum Soekarno, monumen, penyusunan naskah akademik, buku, dan lain-lain.

Hal itu bertujuan agar generasi muda kita tidak melupakan sejarah sebagaimana pesan Bung Karno untuk tidak sekali-kali melupakan sejarah.

“Jika semuanya seimbang, maka pembangunan karakter dan budi pekerti manusia, yang diikuti dengan peningkatan kemampuan kognitif, keterampilan, dan kecerdasan dapat berjalan dengan baik. Jangan sampai tubuh mendapat makanan, tetapi hati, pikiran, dan jiwa justru kekurangan asupan. Ini bisa berbahaya. Jadi, keseimbangan sangat penting. Makanan untuk tubuh harus cukup, begitu pula makanan untuk pikiran dan jiwa,” tandasnya. (lan)