bernasnews — Efisiensi merupakan sesuatu yang menjadi banyak menjadi impian dan keinginan bagi banyak pihak; perusahan, negara, bahkan individu. Namun, gerakan efisiensi yang dicanangkan oleh pemerintah saat ini memperoleh penolakan, bahkan disikapi oleh demonstrasi dengan gerakan mahasiswa di berbagai kota di tanah air, yang tentu saja hal ini menunjukan ketidaklaziman. Hal ini dikemukakan oleh Prof. Edy sebagai narasumber dalam Webinar bertajuk Efisiensi dalam Pandangan Islam, Jumat (21/2/2025).
Penolakan ini, lanjut Prof. Edy, merupakan respon dari masyarakat karena terjadi adanya ketidakkonsistenan dengan situasi. Prof. Edy menyampaikan bahwa, kata efisiensi hanyalah ‘dipinjam’ karena digunakan untuk mengaburkan situasi yang dihadapi sesungguhnya.
“Seperti warisan fiskal di masa lalu seperti membayar bunga dan hutang negara, pembangunan IKN, serta membiayai program terkait janji-janji kampanye seperti Makan Bergizi Gratis, pembangunan 3 juta rumah rakyat, dan pernyataan-pernyataan spontan yang populis, kata Prof. Edy, dalam keterangan yang dikirim, Senin (24/2/2025)
Situasi ini kemudian juga ditunjukan dengan terganggunya program-program prioritas yang seharusnya dilakukan Kementerian/Lembaga Pemerintah, serta ketidakkonsistenan dengan kebijakan yang lain seperti bentuk kabinet terbesar sepanjang sejarah Indonesia, pengangkatan staf khusus yang dinilai tidak perlu, beberapa kali kunjungan Luar Negeri Presiden, dan pemberantasan korupsi yang cenderung lamban.
Dalam perspektif Islam, efisiensi merupakan bagian dari ajaran fundamental yang menekankan penggunaan sumber daya secara optimal, hidup hemat, serta menjaga kelestarian alam. Prinsip dasar ekonomi syariah menggarisbawahi pentingnya efisiensi alokasi dan efisiensi teknis sebagai kunci utama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) DIY ini, salah satu indikator utama inefisiensi di Indonesia adalah tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR), yang menunjukkan bahwa investasi yang dilakukan belum memberikan hasil yang maksimal.
Hingga tahun 2023, ICOR Indonesia mencapai angka 7.6, jauh di atas rata-rata negara-negara ASEAN lainnya. Tingginya ICOR ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kebocoran anggaran, pungutan liar, serta infrastruktur yang belum memadai di banyak daerah.
“Kita masih menghadapi tantangan besar dalam mengurangi inefisiensi nasional. Korupsi, birokrasi yang berbelit, dan masih lemahnya infrastruktur menjadi faktor utama yang harus segera diperbaiki. Jika tidak, daya saing kita akan semakin tertinggal dibanding negara-negara tetangga,” ujar Prof. Edy.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa efisiensi bukan hanya sebatas jargon, melainkan harus diwujudkan dalam kebijakan konkret. Implementasi ekonomi berbasis syariah diyakini dapat menjadi solusi dalam menekan ketimpangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Prinsip-prinsip Islam mengajarkan bahwa bekerja harus dilakukan secara profesional, sesuai dengan kapasitas dan keahlian masing-masing individu, guna mencapai hasil yang maksimal dengan sumber daya yang ada.
Dalam seminar ini juga dibahas bagaimana Indonesia perlu mengadopsi sistem ekonomi yang lebih berkeadilan, baik melalui pendekatan ekonomi Islam, ekonomi Pancasila, maupun ekonomi kerakyatan. Pemerintah diharapkan mampu mengambil langkah-langkah strategis guna memperbaiki efisiensi nasional, di antaranya dengan meningkatkan transparansi anggaran, memberantas praktik korupsi, serta mempercepat pembangunan infrastruktur yang merata di seluruh wilayah Indonesia.
Sebagai penutup, Prof. Edy menegaskan bahwa efisiensi nasional harus menjadi fokus utama kebijakan ekonomi ke depan. “Kita harus bergerak dari sekadar wacana menuju tindakan nyata. Tanpa efisiensi, pertumbuhan ekonomi yang kita capai tidak akan memberikan manfaat maksimal bagi kesejahteraan rakyat,” tutupnya. (*/ nun)