bernasnews – Desakan untuk mengadili Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi) kembali disuarakan oleh Aliansi Jaga Demokrasi (AJD) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) DIY.
Ratusan massa yang tergabung itu menggelar demo di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu (8/2/2025). Mereka menilai bahwa kondisi demokrasi sekaligus penegakan hukum di Indonesia sedang mengalami krisis dan tidak baik-baik saja.
Apalagi figur Jokowi tersebut disebut-sebut masih terlibat dalam pemerintahan Presiden Prabowo. Padahal faktanya, Jokowi saat ini sudah bukan pejabat publik lagi. Dia mengatakan cawe-cawe Jokowi dalam pemerintahan sudah dimulai sejak muncul pencalonan Gibran. Jokowi dianggap menjadi sosok yang bertanggung jawab atas munculnya putusan MK yang memuluskan jalan buat Gibran menjadi wakil presiden.
Berangkat dari keprihatinan ini, Kordinator AJD, Gunawan Haromain mengatakan, apabila kondisi tersebut tidak segera diatasi, maka dalam jangka panjang akan mengakibatkan lumpuhnya penegakkan hukum di Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan perjalanan hukum dan penegakkannya dari masa ke masa, tidak diorientasikan pada upaya mewujudkan keadilan.
“Hukum cenderung digunakan sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan oleh penguasa. Pada masa kolonialisme, hukum dijadikan alat untuk menjajah warga pribumi,” katanya dalam siaran pers, Sabtu (8/2/2025).
Gunawan menilai, selama 10 tahun kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden RI ketujuh, harapan adanya perbaikan kondisi penegakan hukum di Indonesia justru semakin terpuruk. Hal ini terlihat dengan semakin menguatnya intervensi kekuasaan terhadap aparat penegak hukum.
“Harus diakui, gagasan Nawacita untuk hadirkan pemerintahan yang bebas korupsi cuma tinggal pepesan kosong. Penegakan hukum terkesan menjadi alat politik kekuasaan, misalnya dalam hal pembungkaman kritik sipil dan media massa,” tegasnya
Menurutnya pada masa orde lama hukum dijadikan alat revolusi. Sedangkan pada masa orde baru, hukum dijadikan alat pembangunan. Sementara pada masa reformasi sampai sekarang, hukum cenderung dijadikan alat kekuasaan politik.
“Hal ini yang menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya krisis penegakkan hukum di Indonesia. Hukum dan penegakannya tidak diorientasikan sebagaimana seharusnya yakni mewujudkan keadilan, namun dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan oleh para penguasa untuk kepentingan segelintir orang ataupun kelompok tertentu,” jelasnya.
Oleh karenanya, keamanan sekaligus perlindungan kepada masyarakat menjadi semu dengan aparat penegak hukum yang masih bersikap represif terhadap anggota masyarakat yang berbeda sikap dengan pemerintah. Sebaliknya, kata dia, sejumlah perkara lama seperti pelanggaran berat HAM masa lalu yang menjadi utang untuk dituntaskan justru terus dihadapkan pada ketidakpastian.
“Jokowi sebagai Presiden RI lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang justru ternyata juga gagal diwujudkan karena faktor hukumnya tidak dipenuhi terlebih dahulu,” kata Gunawan.
“Misalnya, ambisi Joko Widodo menggenjot berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mengutamakan kepentingan investor, namun mengabaikan kepentingan publik atau keadilan yang lebih luas,” imbuhnya.
Begitupula pada sisi pembangunan infrastruktur, Jokowi dinilai kerap mengabaikan aspirasi masyarakat.
Berbagai kebijakan insentif terus digelontorkan untuk mendukung investor, sementara masyarakat adat dan lokal cenderung terpinggirkan.
Bahkan, lanjut dia, konflik agraria terus meletus dan tak sedikit justru terjadi di area PSN seperti di Ibu Kota Nusantara (IKN), Rempang dan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2).
“Bercermin dari kondisi tersebut diatas, kami Aliansi Jaga Demokrasi merasa perlu untuk mendorong institusi Kepolisian Republik Indonesia sebagai salah satu aparat penegak hukum yang menjadi ujung tombak penegakan hukum,” tegasnya.
“Termasuk dalam hal ini untuk mengusut tuntas berbagai kasus selama pemerintahan Jokowi, terlebih khususnya yang diduga ada keterkaitan Jokowi atau kroni-kroninya,” tandasnya. (lan)