bernasnews — ‘Menyemai Spirit Catur Sagotra’ menumbuhkan wacana tentang pentingnya masyarakat mengetahui dan mengapresiasi keris peninggalan dari Trah Mataram Islam. Keris sebagai karya monumental dapat dibaca dari perspektif sejarah dan budaya.
Eksistensinya selain untuk menguatkan jati diri bangsa juga menjadi sumber inspirasi budaya. Untuk itulah Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY menyelenggarakan Pameran Keris Catur Sagotra dan Dialog Budaya, bertempat di Grha Keris Daerah Istimewa Yogyakarta, Jalan. Gamelan Kidul, Yogyakarta, Jumat (17/3/2023).
Kegiatan ini menghadirkan nara sumber Kurator Keris, KRT. Kusumonegoro, KRMT. Projokusumo, dan Ady Sulistyono, S.Sos. Juga tampak hadir KPH. Notonegoro selaku penghageng dan mewakili dari Kraton Yogyakarta, serta beberapa tamu para pemerhati keris.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY Dian Laksmi Pratiwi, S.S., M.A mengemukakan, bahwa konsep Catur Sagotra dalam pameran keris ini karena memiliki pemaknaan dari bertitik tolak sejarah yang memiliki spirit bersatunya 4 kerajaan besar, dalam sejarah kerajaan di Nusantara.
“Yaitu Kraton Kasultanan Ngayogyakarta, Kraton Kasunanan Surakarta, Kadipaten Puro Pakualaman, dan Puro Mangkubumen. Pemaknaan dalam pameran ini adalah bagaimana dialog sejarah itu diwujudkan dengan salah satunya mengambil keris sebagai pusaka. Maka pameran ini ajang refleksi nilai-nilai persatuan trah swapraja Mataram,” kata Dian.
Ketua Penyelenggara Pameran Keris Taufiq Hermawan memaparkan, Catur Sagotra menjadi ruang ekspresi bagi seniman empat dinasti untuk mengenalkan tradisi dan kebudayaan. Dan kini, kami membawa pesan tersebut sebagai pijakan untuk memulainya dalam tradisi keris saat ini.
“Keris-keris tersebut memiliki otentisitas kepemilikan dari para trah yang tentunya memberikan pengetahuan baru. Tentu hal ini menjadi menarik untuk dibicarakan. Bahwasannya, terkadang pengetahuan lama yang kita yakini terhadap keris-keris nDalem (Kraton) bisa jadi berbeda di sini,” terang Taufiq.
“Kami memberikan tawaran sudut pandang lain dari kriteria umum. Tidak sekadar unsur tampak, tetapi juga sisi lain tak nampak seperti halnya sisi spiritual, simbolis, dan historis menjadi poin penting yang disebut sebagai nilai signifikansi,” tandasnya.
Sementara itu, KPH. Notonegoro yang juga sebagai pengarah dalam sambutannya mengungkapkan, bahwa pesan Ngarso Dalem Sultan HB X yakni ada anak muda yang bisa mendekatkan kebudayaan kita terhadap anak-anak muda karena menurut pengamatan Ngarso Dalem anak-anak muda sekarang semakin jauh dari budayanya sendiri.
“Untuk tari dan gamelan kini sudah lumayan, namun sayangnya bab tosan aji atau keris ini kok masih jauh dari anak-anak muda. Kendalan bisa jadi keris itu dianggap terlalu mistis dan menjadi eksklusif, dengan adanya pameran seperti ini tentu orang akan dapat mengapresiasi keris sebagai karya seni yang tidak hanya memiliki nilai estetika namun juga nilai filosofi. Kalau bisa Dinas Kebudayaan bisa membuat gelaran yang lebih kekinian dan menarik minat anak muda,” tuturnya.
Lanjut KPH. Notonegoro menjelaskan, bahwa keris itu bagian dari identitas seperti halnya ageman (busana). Keris itu sangat personal, zaman dulu anak-anak muda yang sudah beranjak dewasa tentu pesan keris sesuai keinginannya. “Bagi orang Jawa dewasa keris itu bisa berupa dari orang tua, juga dari mertua sebagai kancing gelung istilahnya. Dan satu punya sendiri yang sesuai dengan keinginan sendiri, dengan cara pesan pada seorang empu tentunya. Mbok ya itu coba untuk dikembalikan,” pesan KPH. Notonegoro.
Pameran keris Catur Sagotra Trah Agung Mataram ini menampilkan 19 keris koleksi keris yang dimiliki oleh para sentana dan atau mewakili ciri khas estetik, serta identitas 4 karakter budaya dari 4 kerjaan. Namun sangat disayangkan karena keris-keris tersebut memerlukan perlakuan khusus sehingga perhelatan yang menarik ini hanya dilaksanakan satu hari. (ted)