BERNASNEWS.COM — Pepatah lama mengatakan ‘Lain ladang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya’, yang artinya setiap daerah memiliki adat istiadat yang berbeda. Begitupula dalam adat istiadat atau tradisi dalam menyambut kelahiran anak setiap daerah mempunyai tradisi atau adat istiadat berbeda pula.
Dalam khasanah budaya Jawa, khususnya di Jogja dalam menyambut kelahiran anak ada tradisi yang bernama ‘Brokohan’ yang barangkali keluarga kekinian sudah jarang yang mengenal tradisi tersebut. Brokohan adalah pemberian hantaran kepada tetangga di sekitar keluarga yang melahirkan bayi, berupa bahan makanan yang diantaranya, secuil kelapa yang siap diparut atau sudah lepas dari tempurungnya, segenggam beras, gula Jawa, telur ayam dan segelas minuman dhawet beras.
Jumlah telur di dalam hantaran brokohan bisa menjadi penanda jenis kelamin bayi yang lahir,
apabila jumlah telur ayam dua butir maka bayi yang telah dilahirkan oleh ibunya
adalah cowok, namun jika hanya satu butir berarti si jabang bayi cewek. Konon
kata brokohan merupakan dari kata
bahasan Arab, yang bermakna mencari berkah.
Tradisi atau budaya serupa dalam menyambut kelahiran anak juga dikenal di Belanda. Perbedaannya kalau di negara yang dikenal dengan negeri kincir angin ini, setiap kelahiran bayi bagi keluarga yang masih memegang tradisi akan memasang semacam patung burung Ooievar (Burung Stork, Bhs.Inggris) di halaman depan rumah.
“Pemasangan patung atau boneka burung Ooievar ini, terkait dengan semacam mithos lantaran burung ini dianggap dan diyakini membawa kesejahteraan bagi keluarga. Mithologi tentang burung pembawa kesejahteraan ini sama halnya budaya Mesir dan Yunani pada abad tengahan,” ungkap Yan Suryoputri.
Dikatakan, tradisi tersebut berkembang dari cerita legenda bahwa kelahiran atau ‘keberadaan’ seorang bayi dalam keluarga lantara dikirim oleh burung Ooievara. “Kini masih ada sebagian warga masyarakat Belanda yang masih memegang tradisi itu. Selain itu, pemasangan boneka burung itu sebagai ciri khas penanda datangnya musim semi,” jelas ibu asal Jogja dan telah tinggal puluhan tahun di Belanda itu.
Dalam tradisi brokohan
di Jogja jenis kelamin bisa diketahui dari jumlah telur yang ada dalam hantaran,
lanjut Yan Suryoputri, kalau di Belanda dapat dilihat dari jemuran pakaian dan
popok si bayi. “Jemuran pakaian dominan warna biru berarti bayi cowok dan
dominan warna pink bayi cewek. Juga biasanya di tempat jemuran dipasang papan nama
si bayi,” ujarnya.
Tidak hanya itu, bagi yang tilik bayi oleh keluarga akan disuguhi atau dijamu semacam roti Beschuit Met Muisjes yaitu, biscuit tawar yang diolesi mentega kemudian ditaburi muisjes berupa biji adas yang dilapisi gula dengan warna biru dan pink.
“Disebut muisjes (tikus kecil) karena biji adas itu kalau diperhatian ada bulu kecil terlihat seperti ekor. Ada salah kaprah, untuk misis coklat di Belanda disebut hagelslag. Hegel itu butir-butir hujan es. Seje banget ta le mlenceng,” ungkap ibu berdarah Jawa yang masih fasih bahasa Jawa kromo itu.
Roti itu juga sebagai hantaran juga dibawa di kantor oleh orang tua si bayi untuk merayakan kelahiran anaknya. Taburan biji adas bisa jadi pengaruh budaya jaman kolonial dimana adas yang merupakan hasil rempah di Jawa juga untuk merawat bayi. “ Jadi adas diakui punya kasiat. Juga membantu lancarnya ASI bagi ibu yang melahirkan,” pungkas Yan Suryoputri. (ted)