News  

Pameran Catatan Sinema #2 “Suara Layar Indonesia”, Soroti Peran Bunyi sebagai Identitas dan Warisan Sinema Indonesia

Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Yetti Martanti usai acara peresmian membaur bersama pengunjung melihat pameran. (Nuning Harginingsih/ bernasnews)

bernasnews — Pameran Catatan Sinema #2 resmi dibuka sebagai bagian dari rangkaian pembuka gelaran “Kotabaru Heritage Film Festival (KHFF) 2025”, yang akan berlangsung pada 7–9 Agustus 2025 mendatang.

Mengusung judul “Suara Layar Indonesia”, dan menghadirkan pengalaman kuratorial yang mengajak publik untuk mendengar ulang warisan bunyi dalam sejarah sinema Indonesia. Pameran berlangsung di Grha Padmanaba, Kotabaru, Kota Yogyakarta, mulai Rabu (6/8/2025).

Pameran ini menyoroti elemen bunyi dalam film—mulai dari musik, efek suara, desain audio, hingga idiom tuturan—sebagai bagian tak terpisahkan dari penciptaan makna dan emosi dalam sinema. Lebih dari sekadar pelengkap visual, bunyi dipahami sebagai elemen kultural yang membentuk identitas sinema dan merekam memori kolektif sebuah bangsa.

Pentingnya arsip dan kerja lintas-disiplin dalam pembangunan narasi, pameran ini didukung oleh kolaborasi dengan dua institusi mitra: Lokananta, lembaga rekaman bersejarah di Indonesia yang menyumbang koleksi audio dan konteks penting dalam sejarah suara.

Juga Indonesian Film Archivist Society (IFAS), yang berperan dalam pemilihan, penyusunan, dan penyediaan materi arsip film sebagai fondasi utama pendekatan kuratorial.

“Sinergi antara gambar dan bunyi dalam film bukan hanya perkara teknis, melainkan juga medan negosiasi antara teknologi, tubuh penonton, dan representasi kultural,” jelas Erie Setiawan, kurator pameran, dalam pernyataan kuratorialnya.

Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Yetti Martanti saat memberikan sambutan. (Nuning Harginingsih/ bernasnews)

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Yetti Martanti, menekankan pentingnya pameran ini sebagai bagian dari misi jangka panjang KHFF untuk memperkuat Kotabaru sebagai simpul budaya kreatif yang menyatukan riset, arsip, dan industri.

“Pameran ini tidak hanya menjadi pemanasan menuju festival, tetapi juga memperlihatkan bahwa film adalah kerja riset. Kolaborasi antara elemen visual, narasi, dan bunyi menjadikan film sebagai ruang literasi kebudayaan,” ujarnya.

Melalui pendekatan ini, Suara Layar Indonesia menjadi ruang reflektif sekaligus edukatif untuk mengenali keberagaman suara dalam sinema Indonesia. Dari film klasik seperti Lewat Djam Malam (1954), Badai Pasti Berlalu (1977), Yang Muda Yang Bercinta (1977), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985), hingga Tjoet Nja’ Dien (1988).

“Publik diajak tidak hanya untuk “melihat”, tetapi juga “mendengar” sinema—siapa yang menciptakan bunyi, dari mana sumbernya, dan bagaimana ia membentuk pengalaman penonton,” imbuh Yetti Martanti.

Pameran ini merupakan bagian dari rangkaian KHFF 2025 yang akan diisi dengan pemutaran film, diskusi publik, kelas komunitas, dan forum kreatif yang tersebar di berbagai titik kawasan Kotabaru. Catatan Sinema #2 terbuka untuk umum hingga 9 Agustus 2025.

“Diharapkan menjadi ruang belajar lintas generasi, mulai dari pelajar, akademisi, hingga pelaku industri film,” pungkasnya. (nun)