News  

Regenerasi Sastra dalam Sorotan FSY 2025

Suasana diskusi sastra dengan pembicara Ratun Untoro, Evi Idawati dan Muhammad Qhadafi di FSY 2025, Senin 4/8. Duduk di tengah, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Yetti Martanti. (Foto : Humas FSY 2025)

bernasnews – Diskusi panel bertajuk “Susur Galur V: Regenerasi” menjadi salah satu sesi penutup Festival Sastra Yogyakarta (FSY) 2025 yang menghadirkan refleksi mendalam tentang kesinambungan dunia sastra antar generasi di Panggung Pasar Sastra, Grha Taman Budaya Embung Giwangan, Yogyakarta, Senin (4/8/2025), pukul 10.00–12.00 WIB.

Tiga narasumber utama hadir dalam forSuasana um ini: Evi Idawati (penulis dan fasilitator menulis), Ratun Untoro dari Balai Bahasa Yogyakarta, dan Muhammad Qadhafi dari komunitas Suku Sastra. Diskusi dipandu oleh Latief S. Nugraha, yang juga dikenal aktif dalam pembinaan komunitas sastra kampus. Pada kesempatan itu Evi Idawati tampil membacakan karya puisinya, begitu pula Ratun Untoro yang membacakan cerpen berbahasa Jawa.

Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Yetti Martanti dalam sambutannya mengemukakan bahwa regenerasi sastra adalah proses aktif pembaruan yang memungkinkan komunitas sastra terus bergerak dan bertumbuh. Regenerasi bukanlah pergantian semata, melainkan proses membentuk karakter dan arah baru dalam keberlanjutan ekosistem sastra.

Yetti juga menjelaskan bahwa Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta selama ini telah berkomitmen mendukung ruang-ruang pertumbuhan sastra. Melalui program-program seperti penyelenggaraan Festival Sastra Yogyakarta secara rutin, dinas berupaya memberikan ruang ekspresi bagi komunitas dan individu. Pembinaan terhadap talenta-talenta muda dilakukan melalui kompetisi dan forum pelatihan yang konsisten, bahkan hingga memberi akses tampil di berbagai panggung budaya.

“Kami juga mempertemukan mereka dengan komunitas seperti misalnya dengan Macapath Project, agar mendapat pengalaman latihan lebih intensif dan ruang tampil yang lebih luas dalam berbagai agenda seni budaya yang kami selenggarakan. Begitu pula dengan Adyuta, salah satu MC dalam beberapa acara festival sastra ini. Ia adalah talenta binaan kami, yang awalnya juara lomba MC Jawa (Panatacara), lalu mengikuti program Pawiyatan Panatacara. Kini ia tumbuh menjadi MC yang andal dan mampu tampil di berbagai forum formal,” ungkap Yetti Martanti.

Dalam diskusi inti, Ratun Untoro menyoroti pentingnya pembimbingan yang berkesinambungan bagi para penulis muda. Menurutnya, regenerasi tidak cukup hanya melahirkan penulis baru, tetapi juga memerlukan ruang belajar yang saling menopang. “Komunitas adalah garda depan yang tak hanya mengajarkan teknis menulis, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan dalam sastra,” tegasnya.

Muhammad Qadhafi mengajak peserta untuk memikirkan ulang makna regenerasi sastra. Ia menyatakan bahwa regenerasi bukanlah proses mencetak ulang gaya lama, melainkan memberi ruang bagi suara-suara baru yang tetap berpijak pada akar sejarah dan kesadaran sosial.

Sementara itu, Evi Idawati berbagi pengalamannya dalam memfasilitasi kelas-kelas menulis di berbagai daerah. Ia melihat bagaimana tradisi lisan dan potensi sastra muda dapat saling bertemu dalam ruang yang inklusif dan terbuka. Selain berbagi pengalamannya dalam memfasilitasi kelas-kelas menulis di berbagai daerah, juga menekankan pentingnya strategi pedagogis dalam memperkenalkan sastra kepada generasi muda.

Salah satu metode yang ia gunakan adalah memperkenalkan anak-anak muda pada diksi, kata, atau kalimat demi kalimat, agar tumbuh rasa penasaran dan keinginan belajar lebih dalam. “Dengan mengenalkan mereka pada keindahan dan kekuatan satu kata, mereka jadi punya dorongan untuk membaca dan menulis sastra,” jelasnya.

Diskusi ditutup dengan pernyataan Latief S., yang menekankan bahwa pertemuan lintas generasi adalah proses penting dalam mematangkan visi dan imajinasi seorang penulis.

Melalui Susur Galur V, Festival Sastra Yogyakarta 2025 sekali lagi memperlihatkan komitmennya dalam memperkuat estafet keberlanjutan sastra Indonesia. Regenerasi bukan hanya tentang siapa yang menulis setelah kita, tetapi bagaimana kita bersama merawat ruang tempat sastra hidup dan tumbuh bersama. (*/mar)