bernasnews – Dalam balutan anggun kebaya, perempuan Indonesia tak hanya mengenakan sehelai kain, tetapi juga mengenakan sejarah, kearifan, dan keberanian yang diwariskan dari generasi ke generasi.
GKBRAyA Paku Alam kembali menegaskan makna mendalam kebaya bukan semata simbol estetika, melainkan sebagai wahana membuka kembali jiwa warisan leluhur yang sarat nilai dan kekuatan.
Minggu (27/7), halaman utama Sleman City Hall menjadi saksi semangat perempuan-perempuan tangguh dalam gelaran Berani Berkebaya 2025.
Dalam acara bertema “Karena Tradisi Butuh Nyali” itu, GKBRAyA Paku Alam dan para tokoh perempuan DIY menghidupkan kembali semangat pelestarian kebaya sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia yang bukan sekadar dikenang, tetapi harus dihidupi.
GKBRAyA Paku Alam, dalam sambutannya, menggelorakan semangat para perempuan Indonesia untuk mengenakan kebaya dengan keberanian dan kebanggaan. Ia tidak sekadar menyebut kebaya sebagai pakaian tradisional, melainkan sebagai perwujudan perjalanan panjang perempuan Nusantara.
“Kebaya bukan hanya keindahan kain. Ia adalah jiwa warisan leluhur yang hidup, simbol ketangguhan, keanggunan, dan kearifan lokal yang mampu bersaing di panggung global,” tegasnya.
Ia mengaku, sebagai seorang ibu, ia melihat kebaya seperti dirinya sendiri—anggun di luar, namun kuat di dalam. Setiap motif yang tergurat dalam kebaya, menurutnya, bukan sekadar ornamen, melainkan filosofi yang mewakili kearifan lokal dan kekuatan batin.
“Setiap helai kebaya adalah karya yang tidak lekang oleh zaman. Ia mengandung ruh budaya dan identitas yang harus terus dijaga,” imbuhnya.
Pelestarian Tradisi Perlu Keberanian dan Ruang
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, Erlina Hidayati Sumardi, membacakan sambutan Wakil Gubernur DIY dalam suasana yang begitu khidmat. Erlina menyampaikan bahwa pelestarian kebaya harus dimaknai lebih dalam daripada sekadar dokumentasi atau seremoni.
“Kebaya sejatinya adalah bahasa. Ia menyampaikan kesantunan, keanggunan, kecermatan, dan kekuatan perempuan Nusantara dalam menghadapi zamannya.
Pelestarian dan inovasi terhadap kebaya tidak boleh berhenti di bentuk luarnya saja, apalagi jika itu mengabaikan aspek kepantasan, konteks budaya, dan makna di baliknya,” ujar Erlina dengan tegas.
Ia menekankan bahwa pelestarian budaya membutuhkan keberpihakan, bukan hanya dari masyarakat, tetapi juga dari kebijakan pemerintah. Erlina mengajak seluruh elemen untuk menyediakan ruang-ruang kreatif yang memungkinkan kebaya tumbuh dan menyapa zaman tanpa kehilangan akar budayanya.
Erlina juga menggugah kesadaran kolektif bahwa mengenakan kebaya berarti memahami dan menghormati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pihaknya harus memastikan kebaya tetap dikenakan, sembari nilai dan maknanya tetap dijaga.
“Mari jadikan Hari Kebaya Nasional sebagai pemantik kesadaran budaya, bukan sekadar peringatan,” tambahnya.
Dalam acara itu, para kepala OPD perempuan Pemda DIY turut hadir dan menunjukkan dukungan nyata terhadap gerakan pelestarian kebaya.
Dengan mantap, mereka mengenakan kebaya yang merepresentasikan keberagaman budaya daerah sekaligus memperlihatkan ketegasan peran perempuan dalam roda pemerintahan dan masyarakat.
“Semoga gerakan ini tidak berhenti di sini. Mari jadikan kebaya sebagai sayap untuk terbang tinggi, tanpa pernah melupakan tanah budaya tempat kita berpijak. Perempuan yang kuat dan cantik adalah yang tak lupa pada akarnya dan berani menumbuhkan akar itu menjadi karya nyata,” ajaknya.