bernasnews – Pemerintah resmi mengoperasikan program Kopdes Merah Putih sebagai bagian dari upaya memperkuat ketahanan pangan nasional dan mendorong kemandirian desa. Namun, di balik semangat pembangunan ini, muncul kekhawatiran dari para kepala desa di Gunungkidul.
Mereka merasa bingung dalam menata ulang posisi dan fungsi Koperasi Desa (Kopdes) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) agar tidak saling menegasikan satu sama lain.
Banyak kepala desa mengaku resah. Mereka menyambut Kopdes dengan antusias, namun juga takut bahwa keberadaan unit usaha baru ini justru menyingkirkan BUMDes yang telah mereka bangun dan jalankan selama bertahun-tahun. Ancaman tumpang tindih kewenangan kini menjadi persoalan serius yang menghantui.
Ketua Paguyuban Lurah Gunungkidul, Suhadi, mengatakan bahwa potensi konflik bisa terjadi jika tidak ada kejelasan peran sejak awal. Ia mencontohkan toko desa yang selama ini dikelola oleh BUMDes, bisa saja jadi ajang perebutan jika Kopdes juga masuk di bidang yang sama.
“Jika Kopdes masuk tanpa kejelasan peran, bisa menimbulkan gesekan. Kedua lembaga ini bisa berebut sektor yang sama,” ujar Suhadi, Jumat, 25 Juli 2025.
Menurutnya, situasi ini bisa menciptakan kebingungan di masyarakat desa dan melemahkan potensi ekonomi yang seharusnya bisa tumbuh lebih kuat jika disatukan.
Peran Pemerintah dan Akademisi dalam Penataan Usaha Desa
Drs. Djuawan Kartarajasa, ahli kebijakan publik dari Universitas Gunungkidul, menekankan pentingnya penataan kewenangan sejak awal agar program-program yang datang dari pusat tidak dijalankan secara serampangan oleh desa.
“BUMDes dan Kopdes sama-sama instrumen menggerakkan ekonomi desa. Tapi jika tidak ada penataan yang baik, keduanya bisa saling berebut peran,” ungkap Djuawan.
Djuawan mendorong agar setiap desa merancang unit usaha berdasarkan kebutuhan riil masyarakat dan potensi lokal masing-masing. Ia juga menekankan pentingnya pendampingan dari pemerintah kabupaten, termasuk penyusunan regulasi teknis dan SOP yang tegas membedakan peran BUMDes dan Kopdes.
“BUMDes bisa difokuskan pada bisnis jangka panjang dan pelayanan umum, sementara Kopdes diarahkan untuk penguatan pangan atau koperasi simpan pinjam,” papar Djuawan.
Ia juga mengingatkan agar masyarakat dilibatkan dalam penyusunan rencana kerja desa. Jika hanya melibatkan elit desa, dikhawatirkan kebutuhan riil warga akan terabaikan.
Menanggapi kekhawatiran itu, Bupati Gunungkidul Endah Subekti Kuntariningsih memastikan bahwa Pemkab tidak tinggal diam. Koordinasi lintas sektor terus dilakukan bersama Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kalurahan (DPMK) serta Dinas Koperasi dan UKM untuk merumuskan arah kebijakan.
“Kopdes Merah Putih program strategis penguatan pangan dan pemberdayaan ekonomi desa. Sementara BUMDes tumpuan aktivitas ekonomi warga. Keduanya harus berjalan seirama,” tegas Endah.
Ia memastikan bahwa setiap desa tetap diberi keleluasaan menjalankan programnya, namun tetap dalam koridor kebijakan yang sesuai karakteristik dan potensi masing-masing.
“Desa harus diberi keleluasaan, tapi juga arah yang jelas. Setiap desa punya karakteristik dan potensi berbeda,” tandasnya.
Endah optimistis Kopdes dan BUMDes dapat bersinergi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi desa. Menurutnya, dua lembaga itu tidak boleh menjadi sumber konflik, melainkan penggerak kemajuan desa secara komplementer.
“Kami ingin desa menjadi pusat pertumbuhan, bukan hanya objek pembangunan. Untuk itu, sinergi adalah kunci,” pungkasnya.