Perjanjian Dagang RI-AS: MPBI DIY Menolaknya, Sebut Sebagai Bentuk Penjajahan Ekonomi Baru

Perjanjian Dagang RI-AS
Perjanjian Dagang RI-AS

bernasnews — Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Daerah Istimewa Yogyakarta menyuarakan penolakan tegas terhadap perjanjian dagang bilateral terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat, yang baru-baru ini diumumkan oleh Presiden AS.

Penolakan ini disampaikan langsung oleh Ketua MPBI DIY, Irsad Ade Irawan. Ia menyebut bahwa perjanjian tersebut hanya menguntungkan pihak Amerika Serikat. Kemudian, perjajian berpotensi merugikan rakyat kecil di Indonesia, terutama buruh, petani, serta pelaku industri lokal.

“Perjanjian ini sama sekali tidak mencerminkan keberpihakan pada pelaku ekonomi domestik yang selama ini menopang perekonomian nasional,” ujar Irsad, melansir dari tugujogja.id pada Senin (15/7/2025).

Isi Perjanjian Dagang RI-AS

MPBI DIY mengkritisi isi kesepakatan dagang yang membuka lebar akses produk-produk asal Amerika ke pasar Indonesia. Dalam perjanjian tersebut, Indonesia akan membeli produk energi dan pertanian dari AS dengan nilai hampir USD 20 miliar, serta melakukan pembelian 50 unit pesawat Boeing.

Namun di sisi lain, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat tetap terkena tarif tinggi sebesar 19 persen, tanpa adanya pengurangan hambatan yang signifikan dari pihak AS. Sementara itu, produk asal Amerika justru masuk ke Indonesia tanpa tarif dan hambatan non-tarif yang berarti.

Menurut Irsad, kondisi ini menciptakan ketimpangan perdagangan yang tajam.

“Industri kita akan sulit bertahan dengan serbuan produk impor yang lebih murah. Ini bukan kerja sama setara, tapi bentuk deindustrialisasi sistematis,” tegasnya.

Petani dan Energi Lokal Terancam

Tak hanya mengancam industri, MPBI DIY menilai petani lokal juga berada dalam posisi sulit. Ada potensi membanjirnya produk pertanian Amerika di pasar domestik. Irsad menyebut bahwa petani bisa mengalami kerugian besar, bahkan bangkrut, karena tak mampu bersaing dengan produk asing yang masuk tanpa penghalang.

Lebih lanjut, ia juga menyoroti aspek ketahanan energi nasional. Dengan rencana impor energi dalam skala besar, Irsad menyebut Indonesia akan semakin tergantung pada negara lain dan kehilangan kendali atas sumber daya strategisnya.

“Ini jelas bentuk penjajahan ekonomi gaya baru. Kita dipaksa tunduk pada mekanisme pasar yang dikendalikan negara lain,” ujarnya.

MPBI DIY secara resmi mendesak pemerintah untuk menunda implementasi perjanjian dagang ini hingga ada kajian menyeluruh. Irsad menekankan pentingnya keterlibatan penuh serikat buruh, pelaku industri, dan masyarakat sipil dalam proses evaluasi.

“Kami meminta moratorium implementasi perjanjian hingga ada kajian komprehensif dan transparan terkait dampak ekonomi, sosial, dan ketenagakerjaan,” tegasnya.

MPBI juga meminta pemerintah mengambil langkah nyata untuk melindungi pekerja dan industri nasional melalui kebijakan transisi yang adil, pemberian subsidi, serta penguatan tarif perlindungan bagi sektor yang berpotensi terdampak.

Irsad mengingatkan bahwa tanpa upaya perlindungan serius, Indonesia bisa menghadapi gelombang PHK massal dan kebangkrutan industri lokal.

“Membuka pasar tanpa syarat timbal balik yang adil adalah pengabaian terhadap prinsip keadilan ekonomi. Ini mengancam masa depan puluhan juta pekerja kita,” pungkasnya.***(Eln)