bernasnews — Di tengah wajah desa yang tenang, terselip dinamika ekonomi yang membara. Angka 106,19 bukan sekadar bilangan.
Ia adalah cerminan perjuangan ribuan petani Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menantang fluktuasi harga pasar. Pada Mei 2025, Nilai Tukar Petani (NTP) di DIY tercatat naik 0,49 persen daripada bulan sebelumnya.
Apa Itu NTP?
Nilai Tukar Petani adalah indikator vital yang mencerminkan daya beli petani di pedesaan, yakni perbandingan antara indeks harga yang diterima petani (It) dan indeks harga yang dibayar petani (Ib).
Jika NTP di atas 100, petani memiliki daya beli lebih besar daripada beban biaya hidup dan produksi. Sebaliknya, NTP di bawah 100 menjadi tanda bahaya: petani lebih banyak membayar daripada menerima.
“NTP memberikan gambaran nyata kesejahteraan petani. Ketika NTP naik, belum tentu penghasilan meningkat, bisa jadi justru harga kebutuhan yang menurun,” jelas Kepala BPS DIY, Ir. Herum Fajarwati, M.M.
Meskipun tercatat naik dari 105,67 menjadi 106,19, kenaikan NTP Mei 2025 ini terjadi bukan karena harga jual hasil pertanian meningkat, melainkan karena harga barang konsumsi dan produksi turun lebih tajam.
Indeks harga yang diterima petani justru turun 0,57 persen, dari 136,33 menjadi 135,55. Namun, indeks harga yang dibayar petani jatuh lebih dalam—turun 1,05 persen, dari 129,01 menjadi 127,65.
Kondisi ini ibarat pedang bermata dua. Petani memang mengeluarkan lebih sedikit untuk kebutuhan sehari-hari dan produksi, tetapi hasil panen mereka berharga lebih rendah di pasar. Petani tidak menang. Mereka hanya lebih lambat.
Nilai Tukar Petani DIY di Beberapa Subsektor
Beberapa subsektor mencatatkan harapan. Subsektor perikanan mencatat kenaikan NTP sebesar 2,70 persen, dengan lonjakan signifikan pada subkelompok ikan budidaya sebesar 2,71 persen. Peternakan juga bangkit dengan kenaikan 2,17 persen, terutama terdorong oleh harga sapi potong dan ayam pedaging.
Namun, awan gelap menggulung sektor hortikultura, yang NTP-nya anjlok 9,85 persen. Harga cabai merah, salak, dan bawang merah merosot tajam, menyeret kesejahteraan petani sayur ke titik nadir. Para petani hortikultura justru paling terpukul, seolah menjadi korban dari permainan harga yang tak berpihak.
“Petani hortikultura adalah yang paling rentan. Mereka menghadapi fluktuasi harga harian yang tak bisa dikendalikan,” tambah Herum Fajarwati.
Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP)
Jika NTP menggambarkan kesejahteraan umum, Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) lebih fokus pada kemampuan usaha tani untuk bertahan dan berkembang.
Sayangnya, NTUP DIY pada Mei 2025 justru turun 0,81 persen, dari 110,76 menjadi 109,86. Ini berarti kemampuan petani untuk menutupi biaya produksi semakin melemah, meski biaya konsumsi menurun.
Faktor utama penurunan NTUP adalah kenaikan biaya produksi, terutama pada barang seperti bibit ayam ras, bibit bawang merah, hingga upah pemanenan.
Secara nasional, DIY hanya mencatat kenaikan NTP sebesar 0,49 persen—jauh di bawah Sulawesi Utara yang mencatat lonjakan 3,92 persen. Jika 24 dari 38 provinsi mengalami kenaikan NTP, DIY berada di tengah spektrum: tidak terlalu buruk, tapi juga tidak cukup baik.
Angka-angka ini mungkin tampak teknis, tetapi di baliknya adalah cerita nyata tentang keluarga petani yang harus mengencangkan ikat pinggang, anak-anak petani yang menunda sekolah karena biaya, dan petani yang bertahan hidup dengan menjual harta terakhirnya.
Meski secara statistik NTP naik, kenaikan ini lebih karena kejatuhan harga konsumsi dan bukan karena meningkatnya kesejahteraan petani. NTUP yang menurun menjadi alarm yang tak boleh diabaikan.
Kesejahteraan petani DIY tetap berada di bawah ancaman, terlebih pada subsektor yang sangat bergantung pada volatilitas pasar. (ef linangkung)