Opini  

Media Masa Kekinian, Pilih Bertransformasi atau Ditinggal?

Galih Satria Hutama, PNS Milenial. (Foto: Dok. Pribadi)

bernasnews — Seiring pesatnya kemajuan teknologi dan digitalisasi, membuat pemilik bisnis media masa harus bertransformasi agar tetap bisa mempertahankan eksistensinya. Sudah banyak raksasa media masa yang dulunya merajai media masa cetak maupun elektronik, kini bertumbangan baik itu menutup kantor bironya ataupun menyudahi sebuah siaran yang dulunya banyak ditonton oleh pemirsa TV.

Tentu saja, di zaman sekarang ini bukan seberapa banyak penonton lagi yang menjadi juaranya akan tetapi sebarapa sering program siaran itu masuk ke dalam algoritma sebuah mesin mencari sehingga mampu menjangkau ke seluruh jejaring internet. Bisa dikatakan pada era ini dinamakan era algoritma. Siapa yang menguasai algoritma pada mesin pencari di jejaring internet dialah pemenangnya.

Masyarakat sekarang lebih suka buka media sosial dan media streaming daripada menonton tv ataupun membaca koran. Pengguna internet secara global memiliki rata-rata menghabiskan waktu 139 menit untuk mengakses media sosial. Dan di Indonesia, rata – rata waktu orang Indonesia membuka media sosial yakni 188 menit atau sekitar 3 jam.

Dengan banyaknya waktu mengakses media sosial maupun jejaring internet, membuat algoritma sebuah situs ataupun konten semakin naik sehingga situs ataupun konten tersebut juga semakin menyebar dan ditonton oleh banyak orang dan di situlah letak keuntungan dari transformasi media masa dari era konvensional ke era algoritma .

Selain itu, keuntungan lain media masa dengan bertransformasi menjadi “news on medsos” atau berita dalam media sosial akan menghemat biaya produksi dibandingkan dengan mencetak koran ataupun siaran. Tak hanya itu, era algoritma media sosial ini juga lebih gampang mendapatkan pemasukan melalui akun atau konten yang di-monetisasi daripada bisnis media konvensional, yang sangat bergantung seberapa banyak iklan atau sponsor yang bisa digaet oleh media masa tersebut.

Keuntungan lainnya, dengan adanya media sosial ini akan membuat para pelaku media masa lebih cepat untuk mencari informasi dan membagikan informasi yang didapatkannya dari lapangan, bahkan sudah banyak reporter berita yang langsung live di media sosial untuk memberikan informasi dan berita kepada para pengguna media sosial dan berujung ke kata “viral”.

Beberapa raksasa media masa pun sudah memiliki akun media sosial yang menayangkan berita ataupun acara-acara yang tadinya disiarkan di televisi. Bahkan potongan-potongan sebuah acara yang sudah ditayangkan bisa dijadikan pasokan konten dalam akun media sosial tersebut. Misal, seperti konten dengan judul “adegan lucu komedia lapor pak”, yang isi kontennya berupa potongan-potongan adegan acara sebuah televisi swasta nasional.

Dengan beberapa keuntungan transformasi tersebut, pelaku media masa juga harus dapat mempertanggung jawabkan konten dari aspek kualitas dan kevalidan informasi, karena dalam media sosial ini yang dipegang bukan aspek kualitas konten tapi “viral”-nya konten, valid atau hoax yang penting viral dan menjangkau banyak pengguna media sosial.

Di sinilah pelaku media masa dituntut untuk memberikan pendidikan dan sosialisasi bagi para pengguna media sosial tentang bahaya berita palsu atau hoax, berita yang mengandung judul klik bait (antara judul berita dengan isi berita tidak ada kaitannya).

Juga turut menggaungkan slogan “bijak dalam bermain sosial media” sehingga masyarakat Indonesia terutama generasi masa kini dapat menyortir dan memilah berita agar bisa membedakan mana berita yang informasinya valid dan mana yang hoax serta bijak dalam bermain sosial media. (Galih Satria Hutama, PNS Milenial)