bernasnews – Yogyakarta kembali menjadi tuan rumah Konferensi Musik Liturgi 2025, sebuah forum penting bagi para pemerhati musik gereja yang ingin memperkaya ekspresi iman melalui musik. Acara yang diselenggarakan Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta secara daring melalui zoom, Sabtu (22/3/2025) ini dimoderatori oleh Paulus Widiawan. Agenda ini menghadirkan tiga nara sumber utama yakni : Elizabeth Dwi, Dr. Caecillia Hardiarini, MPd. (Dosen Prodi Pendidikan Seni Musik Universitas Negeri Jakarta) dan Romo John Gono, SVD (saksi hidup perjalanan inkulturasi di Flores), serta pakar musik liturgi Prof. Dr. Djohan Salim.
Konferensi ini diawali dengan penampilan Vocalista Sonora, yang membawakan dua lagu bertema liturgis, yakni Hamba Berserah Diri dan Kristus Telah Bangkit. Suasana khidmat semakin terasa saat Paulus Widiawan memimpin doa pembukaan, mengajak peserta untuk memaknai konferensi ini sebagai bentuk pelayanan melalui musik gereja.
Elizabeth Dwi menegaskan bahwa tujuan utama konferensi ini adalah menghidupkan kembali semangat inkulturasi dalam musik liturgi, seperti yang menjadi cita-cita dari mendiang Romo Prier SJ, terutama dalam konteks Indonesia yang kaya budaya. Ia menyoroti pentingnya integrasi elemen musik tradisional ke dalam peribadatan, sehingga umat dapat beribadah dengan lebih mendalam dalam nuansa budaya lokal.
Dalam sesinya, Caecillia Hardiarini membahas tentang teknik komposisi musik liturgi yang selaras dengan nilai-nilai teologis dan tradisi gereja. Ia menekankan bahwa musik liturgi harus menopang ibadah, bukan sekadar menjadi hiburan. Salah satu topik menarik yang muncul dalam sesi tanya jawab adalah bagaimana mengadaptasi musik tradisional ke dalam liturgi tanpa kehilangan esensi sakralnya.
Romo John Gono membawakan pemaparan tentang sejarah Jubilate, kumpulan lagu liturgi yang telah menjadi bagian dari warisan musik gereja. Ia menjelaskan bagaimana Jubilate berkembang dari musik liturgi klasik hingga musik yang lebih inkulturatif. Dalam sesi ini, ia juga menyoroti tantangan dalam menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi dalam musik gereja.
Prof. Djohan Salim memberikan wawasan tentang peran musik dalam kehidupan gereja, baik dalam tradisi Katolik, Ortodoks, maupun Protestan. Ia menguraikan bahwa : Musik gereja tradisional seperti Gregorian Chant dan paduan suara memiliki kekuatan meditatif yang mendalam; Musik modern dalam gereja Protestan, seperti Praise & Worship, memberikan ekspresi yang lebih dinamis dan emosional; Inkulturasi musik gereja menjadi jembatan bagi umat untuk lebih dekat dengan pengalaman rohani mereka, tanpa kehilangan identitas budaya.
Sesi diskusi menjadi semakin menarik saat Julio dari Purwokerto menanyakan mengapa banyak lagu inkulturatif dari Madah Bakti tidak ditemukan dalam Puji Syukur. Pertanyaan lain dari Enggal Juliarno menyentuh tentang apakah komposisi lagu liturgi harus selalu berbasis ayat Kitab Suci. Para narasumber sepakat bahwa lagu liturgi sebaiknya tetap mengacu pada teks-teks Kitab Suci, namun dapat dikembangkan secara kreatif dalam konteks budaya lokal.
Sebagai bagian dari apresiasi, empat peserta beruntung mendapatkan hadiah dari panitia. Acara kemudian ditutup dengan doa yang kembali dipimpin oleh Paulus Widiawan, menandai berakhirnya konferensi yang penuh wawasan ini.
Konferensi Musik Liturgi 2025 memberikan refleksi mendalam tentang bagaimana musik dapat menjadi sarana untuk memperkaya spiritualitas umat. Dengan semangat inkulturasi, gereja diharapkan dapat semakin terbuka dalam menerima ekspresi budaya lokal dalam musik liturgi, tanpa kehilangan makna sakralnya. (mar/Elias Eke, Bantul DIY)