News  

Pelayanan Kesehatan Katolik di Indonesia: Misi, Tantangan, dan Masa Depan

Flyer webinar rekoleksi bulanan IKAFITE tentang rumah sakit.

bernasnews – Pelayanan kesehatan Katolik di Indonesia memiliki sejarah panjang yang berakar pada misi kerasulan untuk membantu sesama, terutama mereka yang miskin dan membutuhkan. Semangat ini terus berkembang dari waktu ke waktu, menjangkau berbagai daerah, termasuk pelosok yang sulit dijangkau, demi memberikan layanan terbaik sebagai institusi kesehatan Katolik.

Salah satu tonggak penting dalam sejarah pelayanan kesehatan Katolik di Indonesia adalah perubahan nama Rumah Sakit (RS) Onder de Bogen menjadi RS Panti Rapih oleh Mgr. Soegijapranata, S.J. pada masa pendudukan Jepang, tepatnya 15 Desember 1943. Nama “Panti Rapih” memiliki makna “Rumah Penyembuhan”. Hingga kini, RS Panti Rapih telah berkembang dan bermitra dengan BPJS untuk semakin memperluas jangkauan layanannya.

Konsep BPJS  yang mengadopsi sistem Diagnosis Related Groups (DRG), memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan prinsip Katolik, yaitu standarisasi biaya, efisiensi, transparansi, akuntabilitas, kualitas perawatan, kesetaraan akses, dan adaptabilitas. Sistem DRG ini pertama kali dikembangkan oleh Robert B. Fetter, PhD, dan John D. Thompson, MPH, dari Yale School of Medicine. Prinsip-prinsip yang dianut dalam BPJS mendukung keberlanjutan rumah sakit Katolik dalam memberikan layanan kesehatan yang berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat.

IKAFITE menyelenggarakan webinar Rekoleksi Bulanan bertajuk “Label Katolik Rumah Sakit Kita Pesan atau Beban”, Selasa (11/3/2025). Narasumber Prof. Dr. Hari Kusnanto, DRPH. SPKKLP, guru besar FKKMK UGM, Rektor Universitas Respati Yogyakarta, dan Pembina Yayasan Panti Rapih mengemukakan, rumah sakit Katolik bukan sekadar lembaga pelayanan kesehatan, tetapi juga lembaga pendidikan dan perutusan. Dalam pelaksanaannya, rumah sakit Katolik mengadopsi prinsip kepemimpinan kolektif. 

“Contoh nyata dari transformasi ini adalah RS Atma Jaya, Charitas Hospitals, dan RS Gotong Royong Surabaya, yang awalnya dimiliki secara perorangan tetapi kemudian berubah menjadi rumah sakit perutusan. Rumah sakit Katolik juga tidak hanya dikelola oleh tenaga medis Katolik, tetapi oleh tenaga medis dari berbagai latar belakang agama yang memiliki semangat relasional, yaitu bekerja dalam relasi dengan Tuhan dan sesama. Dalam konteks ini, rumah sakit Katolik mewujudkan visi sakramental, yaitu perjumpaan dengan Tuhan dalam dunia material, serta semangat transformasional untuk menghadirkan kesembuhan dan pembaruan hidup. Integrasi antara praktik medis dan iman menjadi fondasi utama dalam pelayanan mereka,” kata Hari Kunanto..

Selain aspek spiritualitas, strategi dalam mengelola rumah sakit Katolik juga menjadi perhatian utama. Kusnanto menyampaikan berbagai strategi yang telah diterapkan, seperti diferensiasi layanan berkualitas tinggi, pelestarian lingkungan melalui inisiatif rumah sakit hijau seperti yang dilakukan RS Panti Nugroho, pengembangan tenaga kerja unggul, serta kemitraan dengan komunitas sebagaimana yang dilakukan di RS Gotong Royong Surabaya. Selain itu, inovasi teknologi medis juga menjadi perhatian utama, seperti penerapan teknologi robotik di RS St. Carolus Borromeus untuk operasi penggantian sendi lutut.

Namun, di balik berbagai strategi tersebut, rumah sakit Katolik juga menghadapi tantangan, terutama dalam hal keseimbangan antara misi pelayanan dan aspek finansial. Kusnanto menyoroti bahwa meskipun BPJS memberikan akses layanan yang lebih luas, beberapa kasus penyakit tertentu dapat menyebabkan rumah sakit mengalami kerugian. Namun, rumah sakit masih bisa mendapatkan keuntungan dari kasus-kasus lainnya, seperti operasi patah tulang dan layanan rawat jalan. Dengan manajemen keuangan yang baik, keuntungan dari layanan tersebut dapat menutup biaya perawatan bagi kasus-kasus yang memerlukan biaya lebih besar.

Suster Dr. Yustiana Wiwiek Iswanti, CB yang mewakili konggregasi suster-suster CB di Indonesia, menegaskan pentingnya misi kerasulan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Beberapa strategi utama dalam misi kerasulan ini meliputi kolaborasi dan sinergi dalam semangat sinodalitas, kepedulian terhadap kelompok miskin, serta aktualisasi karya kerasulan di bidang kesehatan dan pendidikan. 

“Tantangan yang dihadapi meliputi perubahan regulasi, kebutuhan peningkatan tata kelola yang adaptif, pengembangan sumber daya manusia, serta inovasi digital dalam pengambilan keputusan berbasis data. Pengelolaan keuangan yang baik dan kolaborasi dengan berbagai mitra juga menjadi kunci keberhasilan dalam menjalankan misi ini,” kata dia.

Suster Yustiana juga menyoroti pentingnya berbagai kemampuan dasar dalam pelayanan kesehatan, seperti kepemimpinan, literasi digital, kolaborasi, kerja tim, kreativitas, pemikiran kritis, kewirausahaan, komunikasi, kecerdasan emosional, serta kemampuan menyelesaikan masalah. Literasi dalam data, teknologi, dan aspek kemanusiaan menjadi aspek penting yang harus diperhatikan.

Dalam konteks spiritualitas, pelayanan kesehatan Katolik berakar pada nilai-nilai cinta kasih dan bela rasa. Semangat ini terlihat dalam komunitas Susteran Carolus Borromeus (CB), yang menghayati spiritualitas “Hamba Yahwe” sesuai dengan konstitusi mereka. Konsep solidaritas ini bertujuan untuk menghidupkan harapan dan kepercayaan serta mengambil bagian dalam perutusan gereja.

Sebagai bagian dari misi kerasulan, Suster Yustiana menekankan bahwa kolaborasi dan sinergi menjadi faktor utama dalam mencapai visi pelayanan kesehatan Katolik. Para suster bekerja sama dengan berbagai mitra, seperti perhimpunan dan yayasan yang mendukung karya kerasulan ini. Sinergi ini mempercepat pencapaian tujuan, meningkatkan efektivitas dan efisiensi layanan, serta membantu dalam pemecahan masalah yang dihadapi rumah sakit Katolik.

Dalam sesi terakhir webinar, Romo Dr. CB Kusmaryanto, SCJ menyoroti pertanyaan fundamental: mengapa rumah sakit Katolik harus ada? Jawabannya merujuk pada ajaran Yesus yang selalu berkeliling untuk memberitakan Kerajaan Surga serta menyembuhkan orang sakit. Para rasul juga diberi kuasa untuk menyembuhkan dan melanjutkan misi Kristus di dunia. Oleh karena itu, rumah sakit Katolik hadir untuk mewartakan Kerajaan Allah melalui pelayanan kesehatan yang berlandaskan etika Katolik. Rumah sakit ini harus dikelola dengan prinsip pelayanan yang sesuai dengan nilai-nilai Injil, seperti yang tertulis dalam Matius 20:28.

Namun, rumah sakit Katolik juga menghadapi berbagai tantangan, termasuk kurangnya tenaga profesional medis, kebutuhan akan manajemen yang akuntabel dan efisien, serta perubahan regulasi BPJS yang terus berkembang. Romo Kusmaryanto menekankan bahwa keberadaan BPJS memberikan keleluasaan bagi pasien untuk mendapatkan layanan kesehatan tanpa harus takut akan beban biaya. Dengan manajemen yang baik, rumah sakit Katolik tetap bisa bertahan dan berkembang meskipun harus bersaing dengan rumah sakit profit-oriented.

Webinar dengan moderator Romo Drs. YPH Jelantik, Lic. Th. dari RS Gotong Royong Surabaya ini diakhiri dengan sesi tanya jawab yang memberikan kesempatan kepada peserta untuk mendalami lebih jauh topik-topik yang telah dibahas.  Acara kemudian ditutup dengan doa malam yang dipimpin oleh Suster Priska ADM, diikuti oleh berkat penutup dari Romo Kusmaryanto. 

Diskusi yang berlangsung dalam webinar ini menjadi refleksi mendalam tentang bagaimana rumah sakit Katolik dapat terus menjalankan misi kerasulan-nya di tengah tantangan zaman, tetap setia pada nilai-nilai Katolik, serta memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan berlandaskan cinta kasih bagi semua. (mar/Elias Eke, HELENA MENULIS, Bantul, DIY)