News  

“Indonesia Raya”: Simfoni Kebangsaan dan Makna Hari Musik Nasional

Wage Rudolf Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya yang menginspirasi perjuangan kemerdekaan. Karyanya menjadi simbol persatuan dan kebangkitan nasional (Foto : IKPNI)

bernasnews – Hari Musik Nasional yang diperingati setiap tanggal 9 Maret menjadi sebuah monumen tak kasat mata yang menjulang di ranah seni Indonesia. Momentum ini bukan sekadar perayaan, melainkan sebuah penghormatan mendalam terhadap para musisi yang telah menorehkan warna dalam lembaran budaya bangsa. Wage Rudolf Supratman, sang maestro yang menggubah Indonesia Raya, merupakan sosok sentral dalam peringatan ini. Pemilihan tanggal ini sebagai Hari Musik Nasional adalah bentuk penghargaan atas kelahiran dia, seorang seniman yang dengan nada dan liriknya menggerakkan jiwa bangsa untuk merdeka.

Dalam simfoni sejarah, Indonesia Raya bagaikan overture megah yang mengawali perjalanan panjang kemerdekaan Indonesia. Lagu ini pertama kali diperdengarkan pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928, sebuah peristiwa yang juga melahirkan Sumpah Pemuda. Denting nada yang dikomposisikan Supratman tidak hanya mengalun sebagai melodi, tetapi juga sebagai pekikan yang membakar semangat para pemuda. Sejak saat itu, Indonesia Raya bukan hanya lagu, melainkan manifesto kebangsaan yang menyatukan rakyat di bawah satu tekad: merdeka atau mati.

Di tangan Wage Rudolf Supratman, lagu ini lahir bukan sekadar kumpulan nada yang indah, melainkan cerminan cita-cita luhur bangsa. Liriknya menyusup ke relung sanubari, menyampaikan pesan tentang kebebasan, persatuan, dan kejayaan tanah air. Setiap baitnya menggambarkan perjuangan yang harus ditempuh untuk membangun bangsa yang kuat, berdaulat, dan bermartabat. Irama yang ia ciptakan menjelma menjadi nyawa bagi pergerakan nasional, menggema di setiap sudut negeri yang masih berada dalam belenggu kolonialisme.

Ketika pertama kali berkumandang dalam Kongres Pemuda II, Indonesia Raya diterima dengan gegap gempita oleh para hadirin. Gema lagu ini segera merambat ke seluruh penjuru tanah air, mengiringi langkah-langkah perjuangan kemerdekaan. Pemerintah kolonial Belanda yang mencium ancaman dari lagu ini berupaya membungkamnya, melarang peredarannya, dan menangkap siapa pun yang menyanyikannya. Namun, semangat yang tertanam dalam liriknya telah tertanam kuat dalam sanubari rakyat, sehingga larangan itu tak mampu menghentikan gaungnya.

Pascaproklamasi 17 Agustus 1945, Indonesia Raya akhirnya mendapatkan tempatnya sebagai lagu kebangsaan resmi. Dalam upacara bersejarah di Pegangsaan Timur, Jakarta, lagu ini kembali berkumandang, kali ini sebagai pertanda lahirnya sebuah negara merdeka. Penegasannya sebagai lagu kebangsaan diresmikan melalui Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1958, mengukuhkannya sebagai simbol identitas nasional yang tak tergantikan. Sejak saat itu, lagu ini senantiasa dikumandangkan dalam setiap upacara kenegaraan dan berbagai momen penting lainnya.

Keagungan Indonesia Raya bukan hanya terletak pada sejarahnya, tetapi juga pada komposisinya yang megah. Nada-nada yang tersusun di dalamnya mencerminkan keberanian, kebanggaan, dan optimisme bangsa Indonesia. Lirik seperti “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” bukan sekadar untaian kata, melainkan seruan yang mengajak rakyat untuk senantiasa bangkit dan membangun negeri. Lagu ini menjadi jembatan yang menghubungkan semangat perjuangan masa lalu dengan tantangan masa kini, mengingatkan bahwa kemerdekaan bukanlah akhir, melainkan awal dari perjuangan yang lebih besar.

Hingga saat ini, Indonesia Raya tetap relevan dalam membangun kesadaran nasionalisme. Lagu ini mengajarkan bahwa persatuan, kerja keras, dan cinta tanah air adalah fondasi utama dalam menjaga keberlangsungan bangsa. Generasi muda, sebagai penerus cita-cita kemerdekaan, diharapkan dapat menanamkan makna lagu ini dalam sanubari mereka, menjadikannya sebagai sumber inspirasi untuk terus berkontribusi bagi negara.

Sebagai simbol kebangsaan yang sakral, penghormatan terhadap Indonesia Raya telah diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009. Setiap individu diwajibkan berdiri dengan sikap hormat saat lagu ini dimainkan, sebagai bentuk penghargaan terhadap sejarah dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam setiap peringatan Hari Musik Nasional, lagu ini seolah kembali menggema dengan lebih lantang, mengingatkan kita semua bahwa musik bukan sekadar hiburan, melainkan juga sarana perjuangan, identitas, dan pemersatu bangsa. (mar/Hery Kristiawan dan Elias Eke, HELENA MENULIS, Bantul, Yogyakarta)