Mengenang KRT Harsodiningrat, Sosok Mantan Bupati Gunungkidul Zaman Orba yang Sangat Bersahaja

Suasana pemakaman jenazah almarhum KRT. Harsodiningrat (KPH. Mangunkusumo), Mantan Bupati Gunungkidul, 1994 - 1999, di rumah duka Jalan Langensurya, Kampung Suryoputran, Yogyakarta. (Tedy Kartyadi/ bernasnews)

bernasnews — Sungguh tampak sangat bersahaja prosesi pemakaman mantan bupati zaman orde baru (orba), diusung memakai keranda milik kampung setempat bukan memakai peti jenazah yang indah dengan penuh hiasan bak seperti pejabat atau tokoh yang meninggal dunia, bahkan mobil pembawa keranda pun tampak mobil ambulans tua bantuan pinjaman dari institusi PMI.

Sosok mantan bupati itu adalah KRT. Harsadiningrat, BA, MBA (KPH. Mangunkusumo), Bupati Gunungkidul, Periode 1994-1999, lantaran gerah sepuh, meninggal dunia, dalam usia 89 tahun, di rumah kediaman yang juga nampak sederhana, di Jalan Langen Suryo, Kampung Suryoputran, Kelurahan Panembahan, Kemantren Kraton, Yogyakarta, pada hari Sabtu, 22 Februari 2025, Pukul 13:30 WIB.

Jenazah almarhum Romo Harsa, biasa para warga kampung menyapanya, suami dari R.Ayu Herminatun Harsono dan Ayah dari Seto Handoko Yudiotomo, Danang Wiryawan Adityatama, dan Dyah Hesti Wandansari ini dikebumikan di Pemakaman Kagungan nDalem Astana Hastarengga, Kotagede, Yogyakarta, Minggu, 23 Februari 2025, Jam 10:00 WIB.

Ditlesik dari jejak digital AI, Bupati Ke-23 Gunungkidul ini adalah seorang Bupati Gunungkidul yang terkenal di DIY, sebagai seorang pemimpin yang bijaksana dan memiliki dedikasi tinggi dalam membangun dan memajukan Gunungkidul. Selama menjabat, KRT. Harsodiningrat melakukan banyak perubahan dan pembangunan di daerah tersebut.

Ia fokus pada pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, serta mempromosikan pariwisata dan ekonomi lokal (UMKM). KRT. Harsodiningrat juga dikenal sebagai seorang yang memiliki komitmen kuat terhadap pelestarian budaya dan tradisi Jawa. Juga aktif dalam melestarikan dan mempromosikan kesenian dan kebudayaan Jawa, seperti wayang, batik, dan kerajinan tangan.

Dalam hidup bermasyarakat, meskipun menjabat sebagai bupati, Romo Harso jika waktu senggang tetap mengikuti dan menghadiri kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh pengampu wilayah Kampung Suryoputran. Bahkan pernah saat pertemuan rutin setiap bulan bagi bapak-bapak RT 26 Suryoputran karena menjadi kewajiban bagi yang dapat arisan sebagai tuan rumah, maka ia pun mengundang seluruh anggota pertemuan arisan di rumah dinasnya di Wonosari, Gunungkidul.

KRT Harsodiningrat (KPH Mangunkusumo), Bupati Gunungkidul, 1994-1999. (Foto: Dok. Keluarga)

Sementara itu, dikutip dari buku Biografi KRT. Harsadiningrat, BA, MBA (KPH. Mangunkusumo) Abdi Dalem Pangeran Sentono, yang ditulis oleh Hj. R.Ngt. Susilawati Susmono, dan diterbitkan oleh Yayasan Tunas Sejati, Jakarta, tahun 2020.

Pemilik asmo timur (nama kecil, red) R. Harsono Sumardi, kelahiran 16 Januari 1936, pada tahun 1963 menempuh di FISIP UGM, lalu tahun 1994 melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 Manajemen Bisnis. Mengawali karir sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 1962 dari magang, tahun 1964 PNS Sementara, dan tahun 1965 PNS Set. Kantor Gubernur.

Kemudian pada tahun 1969 menjabat sebagai KAUR Keamanan Daerah Prop. DIY, tahun 1974 KASUBDIT SATPOL PP; 1975 Camat Srandakan; 1976 Camat Pleret; 1982 Kepala BP-7 Kabupaten Bantul; 1984 Ketua BAPPEDA Kabupaten Bantul; 1985 Sekwilda Bantul, Pj. Kakan Catpil; 1988 K. Biro Pemerintahan Umum Propinsi DIY; 1992 Sekretaris DPRD Propinsi DIY; 1994 Bupati KDH Tk II Gunungkidul.

Selain itu, dalam buku tersebut juga dituliskan pengalaman KRT. Harsodiningrat saat dari pendidikannya di UGM yang diantaranya sebagai Anggota Majelis Mahasiswa UGM tahun 1960, SKO Menwa Mahakarya A-Trikora tahun 1962. Juga sebagai abdi dalem Kraton Yogyakarta dan di beberapa kelembagaan dan kegiatan sospol.

Data penghargaan seperti bintang jasa dari negara, bintang kehormatan, piagam penghargaan, serta beberapa jabatan sebagai budayawan. Ada falsafah militan Jawa yang ditulis oleh KPH. Mangunkusumo (KRT. Harsodiningrat) yakni “Sigra Mangkah Enjang Budhal” yang ditulis Juni 2004, berbunyi sebagai berikut;

Lancaran Singa Nebak

Sigra mangsah lumampah anut wirama. Getar tambur bendhene munya angungkung. Suling sesauran selompret tetep mindhiki. Terjemahan: Segera berangkat berjalan sesuai irama. Tambur, gong, bendhe berbunyi bertalu-talu. Seruling bersahutan dengan terompet sebagai pembukanya.

Luluk Budhalan

Enjing bidhal gumuruh. Saking jroning praja. Gunging kang bala kuswa. Aba busananira lir surya wedaliira. Saking jaladri arsa madangi jagad. Duk mengup-mungup aneng. Sakpucaking wukir. Marbalbak bang sumirat. Keneng soroting surya. Mega lan gunung-gunung.

Terjemahan: Pagi berangkat gegap gempita. Dan dalam-dalam istana kerajaan. Segenap prajurit. Dengan kebesaran busana seragam. Ibarat matahari tepi samudera. Bergerak menerangi alam raya. Gemerlap sinarnya menyinari. Puncak gunung dan mega. Tampak pantulan cahaya. Mega dan gunung-gunung.

Falsafah ini dituliskan oleh KPH Mangunkusumo untuk kita renungi bersama. Semoga banyak makna yang tersirat di balik falsafah ini. Sudah semestinya dalam setiap langkah kita di dunia ini tertuju pada tujuan yang hakiki. Demikian pesan dan harapan penulis. (Tedy Kartyadi, Wartawan bernasnews)