bernasnews – Sebuah diskusi menarik mengiringi peluncuran buku Bertemu Mutiara, Indonesia karya Rinda Puspasari, S.Pi, MP., yang berlangsung di Hotel Tugu Malang pada Sabtu (22/2/2025). Buku ini mengupas lebih dalam mengenai filosofi dan perjuangan di balik keindahan perhiasan mutiara yang kerap menghiasi dunia mode dan budaya.
Acara ini menghadirkan para pakar dan pelaku industri mutiara, di antaranya sang penulis, Rinda Puspasari, serta Prof. Ir. Aida Sartimbul, M.Sc., Ph.D., seorang ahli oseanografi perikanan dari Universitas Brawijaya (UB), dan Happy Salma, aktris sekaligus pengusaha perhiasan. Diskusi ini dipandu oleh Wawan Eko Yulianto, SS., MA., Ph.D., seorang dosen Universitas Ma Chung yang juga aktif dalam dunia kepenulisan.
Dalam pemaparannya, Prof. Aida menyoroti dampak perubahan iklim terhadap ekosistem laut, khususnya dalam industri budidaya mutiara. Ia menjelaskan bahwa pemanasan global menyebabkan penurunan tingkat reproduksi kerang yang menjadi faktor utama dalam produksi mutiara.
“Dalam budaya Jepang ada filosofi penggunaan mutiara. Mutiara putih itu hanya digunakan dalam prosesi pemakaman sebagai simbol penghormatan tertinggi. Filosofinya adalah menghargai dengan menggunakan sesuatu yang sangat berharga, hanya boleh menggunakan mutiara putih,” ujarnya di hadapan para peserta diskusi.
Rinda Puspasari turut membagikan kisahnya dalam menulis buku ini. Ia menuturkan bahwa kecintaannya terhadap kehidupan laut telah membawanya mendalami dunia mutiara hingga akhirnya menuangkannya ke dalam buku ini.
“Buku ini bukan sekadar tentang mutiara, tetapi juga perjalanan, pengetahuan, dan filosofi di baliknya. Saya berharap buku ini dapat mempererat silaturahmi antar pembaca melalui pemahaman yang lebih dalam tentang mutiara,” ujar Rinda.
Dari sisi bisnis, Happy Salma menyoroti nilai dan makna mutiara dalam kehidupan. Ia mengibaratkan perjalanan mutiara seperti perjalanan hidup yang menuntut ketekunan dan integritas.
“Mutiara yang buruk akan dibuang, ini seperti kehidupan, di mana integritas sangat penting. Buku ini juga mengajarkan bagaimana kita bisa lebih menghargai proses panjang di balik sebutir mutiara,” tutur Happy.
Lebih lanjut, ia juga menekankan bahwa pembuatan buku ini bukanlah proses yang singkat, melainkan membutuhkan waktu tiga tahun hingga akhirnya dapat dipublikasikan.
Diskusi ini juga mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam budidaya mutiara, terutama di perairan Lombok. Meski demikian, persaingan dengan negara lain, seperti Tiongkok, menjadi tantangan yang perlu dihadapi. Kualitas mutiara laut Indonesia diakui sebagai salah satu yang terbaik di dunia, tetapi faktor lingkungan dan perubahan iklim tetap menjadi ancaman yang tidak bisa diabaikan.