News  

Ziarah “Umbul Donga” 100 Tahun Saptohoedojo : Petualangan, Hutang dan Pulang

Foto bersama keluarga besar Saptohoedojo, seniman, budayawan, dan undangan pada acara Ziarah “Umbul Donga” Mengenang 100 Tahun Saptohoedojo, di Taman Makam Senuman Giri Sapto Imogiri, Bantul, DIY, Kamis 6/2/2025. (Foto : Panitia 100 Tahun Saptohoedojo)

bernasnews – Aura atau suasana cinta, keakraban, dan penuh rasa syukur menyelimuti Taman Makam Seniman Giri Sapto, Imogiri, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakartra, Kamis (6/2/2025) pagi. Sebuah acara Ziarah Umbul Donga” digelar oleh keluarga besar Saptohoedojo untuk memperingati 100 tahun Almarhum Saptohoedojo.

Tampak hadir Yani Saptohoedojo dan Kartika Affandi yang duduk berdampingan di barisan paling depan, Sekar Langit putra almarhum bersama Yani beserta para saudara dan keluarga mereka. Juga hadir seniman antara lain Nasirun, eks bupati Bantul Hj. Sri Surya Widati, dan undangan lainnya.

Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Dr. H. Muhammad Waryani Fajar Riyanto, M.Ag. dalam pidatonya menyampaikan ada tiga hal penting yang dapat diambil dari perjalanan hidup seorang Saptohoedojo. Pertama, hidup adalah petualangan. Jalan hidup yang dilalui Saptohoedojo tidak mudah. Ia harus bekerja keras dan lepas dari zona nyaman agar dapat memaknai kehidupan. Semua jalan cerita tentang hidupnya saat ini dapat kita lihat di Gallery Saptohoedojo yang beralamat di Jalan Laksda Adisucipto km. 9, Maguwoharjo, Sleman, DIY.

Kedua, hidup itu berhutang. Seluruh perjalanan hidup yang sudah dilalui oleh Saptohoedojo, mulai dari awal perjuangan hingga membuat dikenal mancanegara membuat dirinya merasa berhutang pada masyarakat Indonesia. Keterlibatan dia dalam membangun berbagai bidang seni merupakan sebuah pengabdiannya kepada masyarakat. Bahwasanya nilai hidup seseorang bergantung dari apakah dia bermanfaat bagi orang lain.

Ketiga, hidup itu pulang. Sejauh apapun orang berkelana pada akhirnya akan pulang untuk mempersiapkan hari tuanya. Keberadaan Taman Makam Seniman Giri Sapto di Imogiri, Bantul, DIY ini adalah satu contoh bahwa dia berpikir beberapa langkah lebih maju dari kita.

“Karena besarnya cinta pada dunia seni, beliau telah mempersiapkan tempat ini sebagai satu bentuk penghormatan bagi seniman dan budayawan besar di tanah air,” kata Fajar.

Sebelumnya, Yani Saptohoedojo dalam sambutannya mengemukakan, Saptohoedojo adalah sosok yang cinta seni dan keluarga. Dia teringat apa yang pernah disampaikan oleh suaminya bahwa seni adalah cerminan budaya bangsa. “Bagi saya, Saptohoedojo adalah inspirasi,” katanya menegaskan.

Ibunda anak semata wayang Sekar Langit ini menghaturkan terima kasih kepada semua pihak atas terselenggaranya acara “Umbul Donga” Mengenang 100 Tahun Saptohoedojo kepada semua hadirin, seniman, budayawan, awak media dan donatur.

Sekar Langit juga mengucapkan terima kasih kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX (alm) untuk lokasi Taman Makam Seniman. Taman ini berdekatan dengan makam raja-raja, sama-sama bercokol tinggi di kaki bukit, sebagai satu simbol bahwa seniman sama derajatnya dengan raja-raja.

Laki-laki berkata mata putih ini datang lebih awal di Taman Makam Seniman untuk mempersiapkan segala keperluan dalam acara mengenang 100 tahun ayahandanya, termasuk menata kursi dan menempelkan poster. Sebagai putra dari seorang seniman besar, ia adalah sosok yang ramah dan humoris.

Penyair Evi Idawati pada kesempatan ini membaca puisi bertajuk Cahaya dengan iringan seruling Memet Chairul Slamet. Acara ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh Dr. H. Muhammad Waryani Fajar Riyanto, M.Ag. Kemudian dilanjutkan dengan penaburan bunga di makam Saptohoedojo yang diiringi tiup seruling nan syahdu oleh Memet Chairul Slamet.

Saptohoedojo atau lengkapnya Dr. Hc. RM. Saptohoedojo lahir pada tanggal 6 Februari 1925 dari pasangan KRT. Hendronoto dan ibunya adalah keturunan dari pujangga besar Ronggowarsito. Ayah Saptohoedojo adalah seorang dokter Kraton Solo. Kesuksesan Saptohoedojo atau yang lebih akrab disapa Pieq tidak lepas dari peranan keluarga yang mengalirkan darah seni. Antara lain Eyang Ki Padmo Susastro seorang pujangga Kraton, penulis Tata Cara Kejawen, yang menulis dongeng rakyat “Kancil Nyolong Timun” serta memperoleh anugerah seni. Pamannya Ki Harjowirogo adalah seorang penulis Wayang Purwo dan pendiri Balai Pustaka.

Tidak ketinggalan kakak-kakaknya seperti Sumitro seorang pelukis, Surono pembuat OERI (Oeang Republik Indonesia) pertama dan pembuat lambang Penerangan, Hendronoto yang akrab dengan sapaan Pak Ouq adalah pendiri Taman Ria dan pembuat lambang PON pertama, RM Winarno salah seorang pendiri PERDI yang tulisannya di media massa sangat tajam dengan nama samaran “Cloboth”.

Sejak kecil Pieq memang sudah memiliki bakat dalam melukis, ia kerap memenangkan lomba melukis. Selain melukis, ternyata Pieq juga hobi olaraga dan berkelahi. Dikisahkan ia pernah menantang seseorang yang bernama Slamet untuk berkelahi karena merasa sering dipelototin. Yang belakangan diketahui orang tersebut adalah Slamet Riyadi, salah satu pahlawan nasional kita.

Memiliki jiwa petualang dan pemberani, Pieq tidak terlalu tertarik dengan sekolah. Sebaliknya ia sering berkhayal untuk “minggat” ke luar negeri. Bulan Maret 1947, saat dia berusia 22 tahun, dia nekad untuk berangkat ke Singapura, hanya dengan bekal uang dua ribu perak hasil penjualan sepeda kesayangannya dan ransel yang berisi beberapa potong baju dan celana, perlengkapan melukis, pastel, kuas, dan gulungan kanvas.

Dengan menumpang sebuah tongkang milik pedagang Cina yang bersandar di pelabuhan Tegal, akhirnya ia memantapkan langkahnya menuju Singapura. Selama 19 hari Pieq terombang-ambing di lautan, dihajar oleh dahsyatnya ombak laut Jawa. Pieq merasakan betapa tipisnya perbedaan antara hidup dan mati.

Kehidupan yang harus Pieq jalani selama berada di Singapura ternyata tidaklah mudah. Sebagai seorang pendatang gelap Pieq harus bermain kucing-kucingan dengan aparat kepolisian setempat. Ia harus bekerja sebagai kuli di sebuah toko milik orang India, untuk dapat numpang tidur di emperan tokonya. Makan dari tong sampah sisa restoran Cina dan harus mengangkat ember berisi tinja untuk dapat membeli makanan. Dari hasil kerja itu, ia mampu menyewa kamar berdinding “gedhek”(anyaman bambu) berukuran 2 x 1,5 meter di seputaran jalan Gelang.

Nasib akhirnya mempertemukan Pieq dengan seorang pendatang asal Jawa yang memiliki beberapa taksi. Karena Pieq memang terlahir dari keluarga yang terbilang mampu, ia tidak asing dengan mobil, akhirnya dia menjadi sopir taksi. Sambil mencari penumpang, ia tetap setia pada hasrat seninya, mengangkat kuas dan melukis di kanvas yang menghiasi kamar kecilnya.

Saat menjadi sopir taksi, Pieq memiliki langganan bernama Mr. Russel, seorang konsul Inggris di Singapura yang tertarik pada seni. Dengan tekad dan sedikit desakan, Saptohoedojo berhasil meyakinkan Mr. Russel tentang bakat seninya. Dengan bantuan konsul, dia diperbolehkan memamerkan lukisannya di British Council. Pameran inilah yang menjadi titik awal bagi Saptohoedojo untuk menjalani hidupnya sebagai pelukis, menggantungkan hidupnya pada kuas dan cat.

Pada tahun 1948, Saptohoedojo meraih hadiah pertama dalam suatu pameran di Malaysia untuk lukisan cat air dan cat minyak. Prestasinya dalam seni lukis membukakan pintu untuk berkenalan dengan tokoh-tokoh terkemuka seperti Sutan Sjahrir dan Kusumo Utoyo. Bersama mereka, ia mendirikan Indonesia Office di Singapura. Karier menjadi pelukis makin terang. Ia makin tenar. Kerajaan Malaysia pernah mempercayakan lukisan keluarga kepadanya dan dilanjut hingga mengadakan pameran di Penang.

Pieq melanjutkan karir seninya dengan merantau ke luar negeri, belajar di Rijks Academic Amsterdam, Belanda, pada tahun 1950-1951, dan di State School of Arts London pada tahun 1952-1953 dengan subsidi dari pemerintah Republik Indonesia. Di London, ia bertemu dengan Kartika, putri pelukis Affandi, mereka kemudian menikah dan dari pernikahan ini memiliki delapan orang anak. Namun pada tahun 1970 SaptoHoedojo dan Kartika Affandi memutuskan untuk berpisah.

Setelah merasa cukup belajar, Saptohoedojo pulang ke Indonesia dan menjadi dosen di ASRI Yogyakarta. Namun, karena merasa terhambat dalam kreativitasnya, ia memutuskan untuk menjadi seniman independen. Kebebasannya membuka peluang untuk menghasilkan karya-karya luar biasa dalam berbagai bidang seni, seperti lukisan, patung, desain, kolase, batik, dan kriya seni. Pada tahun 1972 Saptohoedojo menikah lagi dengan Yani, seorang gadis asal Purwokerto, dan bersama-sama mereka mendirikan Saptohoedojo Art Gallery di Yogyakarta serta memiliki seorang putra, bernama Sekar Langit.

Saptohoedojo dianggap sebagai salah satu ikon penting dunia kesenian, yang mampu mengubah produk seni lokal menjadi karya seni dengan nilai tinggi. Berperan besar dalam pengembangan berbagai bidang seni, termasuk batik, kriya, dan desain. Bersama Yani, Saptohoedojo berhasil membina ribuan pengrajin batik yang tersebar di Yogyakarta, Sragen, Solo, Delanggu, Kartosuro, dan Pekalongan. Tidak hanya menjadi seniman yang produktif, Sapto juga seorang pengajar dan pembina bagi banyak seniman, misalnya pengrajin ukir tembaga di Cepogo (Boyolali), pengrajin gerabah di Kasongan, dan pengrajin perak di Kotagede, Yogyakarta.

Lelaki berambut perak ini juga dikenal sebagai seniman barang rongsokan. Memiliki keahlian khusus dalam mengubah kaca, kaleng, barang rongsokan dan dianggap tidak berharga menjadi karya seni yang tak ternilai. Saptohoedojo juga terlibat dalam proyek-proyek besar seperti dekorasi mural pada Stadion Utama Senayan Jakarta, mural dan desain interior semen Gresik, serta interior pada Food Factory di Bandung. Pesanan seni dari luar negeri datang dari kota-kota besar seperti Cannes, Hamburg, Frankfurt, Roma, London, Perancis, Denmark, dan Rio de Janeiro, Brazil. (mar/Elias Eke, HELENA MENULIS Bantul Yogyakarta)