News  

Diskusi Satupena Yogya : Proses Kreatif Sastra tak Perlu Laku Berliku

Satmoko Budi Santosa, Awit Radiani (tengah), dan Pascalia WD dalam diskusi sastra Satupena Yogyakarta Minggu 22/12/2024. (Foto : Istimewa)

bernasnews – Proses kreatif dalam laku bersastra ternyata tak perlu laku berliku-liku. Proses kreatif dalam bersastra dapat sangat alamiah, natural saja.

Hal itu disampaikan oleh sastrawan Satmoko Budi Santoso dan Awit Radiani dalam diskusi sastra dengan moderator Pascalia WD yang diselenggarakan Komunitas Satupena Yogyakarta di Griya Abhipraya, Yogyakarta, Minggu (22/12/2024).

Satmoko menjelaskan, awal proses kreatif bersastra dimulai sejak di bangku SMP dan berlanjut di bangku SMA hingga perguruan tinggi. Dia merupakan generasi sastrawan yang tumbuh di era tahun 1990-an. Media remaja lokal Yogyakarta seperti Gatotkaca, Putera Kita, Kuntum, Gema (suplemen halaman remaja koran Bernas) merupakan awal persinggahan karya Satmoko hingga kemudian merambah media nasional.

“Semua itu saya jalani alamiah, natural saja. Bermodal dan bertekad bisa menulis dan terus membaca peluang berkompetisi maka maju terus,” papar Satmoko yang baru saja mendapatkan penghargaan Anugerah Kebudayaan DIY Bidang Sastra.

Begitu pula dengan sastrawan Awit Radiani. Ternyata proses kreatifnya dalam bersastra juga tumbuh alamiah. Kebetulan dia mempunyai banyak aktivitas bersama komunitasnya dan ia cukup jeli mengabadikan catatan perjalanannya dalam bentuk fiksi.

Hal itu misalnya dapat dilihat dalam cerpennya yang berjudul ‘Hatarakibachi”. Cerpen ini dibuat sebagai kenangan saat Awit melakukan kunjungan ke Jepang. Dia pun kemudian menuliskan cerpen tersebut dan mengirimkannya ke koran. Ternyata dimuat.

Berbekal banyak pengalaman itulah maka Awit menjadikannya sebagai sumber inspirasi. “Menulis ya menulis saja,” kata dia yang juga baru saja mendapatkan penghargaan Anugerah Kebudayaan DIY Bidang Sastra dan Seni Pertunjukan.

Disampaikan pula oleh Sutirman Eka Ardhana selaku Ketua Komunitas Sastra Satupena Yogyakarta, bahwa setiap sastrawan perlu membangun tradisi arsip yang bagus. “Belajar dari Satmoko dan Awit, tradisi arsip mereka bagus sehingga bisa berkompetisi untuk mendapatkan penghargaan tahunan yang digelar pemerintah. Kuncinya juga harus update informasi salah satunya melalui media sosial,” kata dia.

Diskusi tersebut berjalan menarik dan dimeriahkan dengan pembacaan puisi oleh Sabatina RW dan pembacaan cerpen oleh Karl Hank. (*/mar)