News  

Prof. Rochmat Martanto : Ketahanan Pangan saat Bonus Demografi

Prof. Dr. Ir. Rochmat Martanto, M.Si. (tengah, dua dari kiri) di kampus STPN Yogyakarta, Jumat 25/10/2024. (Foto : Y.B. Margantoro/bernasnews).

bernasnews – Tanah atau lahan merupakan faktor utama dalam memacu pembangunan di Indonesia. Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki lahan pertanian dan tenaga kerja di bidang pertanian yang relatif lebih banyak dibandingkan sektor lainnya merupakan salah satu penopang pembangunan nasional di bidang pertanian, khususnya dalam penyediaan pangan (beras). Untuk mencapai ketahanan pangan nasional, diperlukan ketersediaan pangan regional (ketahanan pangan daerah) sebagai tumpuan pangan nasional.

Akibat pertambahan jumlah penduduk, peningkatan kegiatan ekonomi dan pembangunan serta peningkatan kebutuhan pangan di beberapa daerah, maka diperlukan lebih banyak lahan pertanian untuk menuju ketahanan pangan nasional. Selain itu juga terlihat dari masih banyaknya daerah yang belum mampu menyediakan pangan regionalnya atau belum mampu mencukupi pangan lokalnya, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti konversi penggunaan lahan, kepadatan penduduk, dan produktivitas lahan (Karjoko et al., 2020).

Konversi penggunaan lahan juga merupakan fenomena yang banyak terjadi di dalam kehidupan manusia saat ini. Hal ini terjadi karena manusia selain membutuhkan pangan juga membutuhkan lahan sebagai penopang kehidupan akan papan atau perumahan (Satria, Falatehan and Beik, 2019). Lahan menjadi kebutuhan pokok bagi keberlangsungan hidup manusia secara biotik dan abiotik. Secara biotik lahan merupakan kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup bagi ketersediaan pangan. Secara abiotik manusia sebagai penentu arah pembangunan, harus dapat mempertahankan lingkungan fisik secara berkelanjutan.

Manusia juga mempunyai kemampuan untuk memilih, baik memilih papan (rumah), sandang (pakaian) maupun pangan. Memilih merupakan ekspresi manusia yang berkaitan dengan kebudayaan atau culture. Ketersediaan pangan secara berkelanjutan adalah kondisi lingkungan berkaitan dengan fisik lahan, sedangkan kebutuhan pangan dan pembangunan merupakan dua faktor yang saling bertentangan dalam kebutuhan lahan, di satu sisi ingin mempertahankan bagi kelangsungan swasembada pangan, sisi lainnya dikonversi dari pertanian ke non pertanian untuk kebutuhan pembangunan (Martanto, 2013).

Terjadinya laju perkembangan pembangunan akibat eksploitasi lahan untuk aktivitas manusia yang terjadi di Indonesia berdampak pada konversi penggunaan lahan, terutama konversi penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian, sehingga aktivitas manusia tidak dapat dilepaskan dengan lahan, baik lahan untuk budidaya pertanian, pemukiman, maupun untuk pembangunan, disamping itu laju perkembangan wilayah dan pembangunan berdampak terhadap ketahanan pangan, baik secara regional maupun nasional (Ritohardoyo, 2009).

Rencana pembangunan yang dicanangkan pemerintah pada hakekatnya merupakan usaha pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk dilaksanakan secara sadar dan bijaksana, sehingga diharapkan setiap tindakan manusia tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Namun kenyataannya, konversi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian memberikan dampak yang kurang baik terhadap lingkungan, salah satunya adalah penurunan tingkat swasembada beras (Martanto, 2013).

Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya masih mengandalkan bercocok tanam untuk menopang hidupnya. Sebagai negara agraris pada lahan pertanian produktif, makanan pokok sebagian besar penduduknya adalah beras, maka padi sawah adalah tanaman yang paling banyak didapati di Indonesia. Peningkatan produksi pertanian terutama untuk bahan pangan/makanan secara langsung memberikan kontribusi terhadap peningkatan ketahanan pangan nasional (Martanto, 2021). Banyak studi menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi pertanian merupakan cara yang paling efektif untuk menyediakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan pertumbuhan seluruh sektor ekonomi, namun demikian penyusutan lahan pertanian produktif (sawah) di Indonesia, terutama di Pulau Jawa dan Bali tidak dapat dihindarkan akibat pertambahan penduduk yang semakin meningkat. (Simatupang and Dermoredjo, 2003; Martanto, 2019).

Pembangunan dan pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan lahan, pada umumnya kebutuhan lahan ini sebagian besar diambilkan dari lahan pertanian, sehingga lahan pertanian akan semakin berkurang. Pengambilan lahan pertanian dapat berujung pada terjadinya konversi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian. Konversi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian di Indonesia terus berlangsung dan dapat diartikan setiap waktu terjadi konversi penggunaan lahan atau yang disebut dengan laju konversi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian, dan hal ini merupakan ancaman terhadap penurunan ketahanan pangan atau penurunan swasembada pangan baik secara regional ataupun nasional (Martanto, 2023).

Sumberdaya alam berupa lahan dan air yang ada dapat digunakan untuk mendapatkan produktivitas pertanian, khususnya beras baik secara ekstensifikasi maupun secara intensifikasi. Ekstensifikasi atau memperluas/membuka lahan pertanian baru dapat dilakukan selain di Pulau Jawa dan Bali. Ekstensifikasi perlu memiliki akses mudah untuk menjangkau kebutuhan akan bahan pokok berupa sarana dan prasarana. Guna mendukung hal tersebut Pemerintah sampai dengan tahun 2024 telah mencanangkan pembukaan lahan baru dalam bentuk kawasan pangan atau food estate sesuai dengan Peraturan Presiden No. 109/2020 tentang Proyek Strategis Nasional (PSN). Food estate ini mengambil beberapa lokasi diantaranya di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Papua Selatan. Lokasi Sumatera Utara tepatnya berada di Kabupaten Humbang Hasundutan, sementara di Kalimantan Tengah berlokasi di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas, sedangkan di Papua Selatan di Kabupaten Merauke.

Pulau Jawa dan Bali mempunyai lahan pertanian terbatas, maka untuk meningkatkan produksi pangan (padi) banyak dilakukan dengan intensifikasi pertanian, intensifikasi pertanian adalah salah satu usaha untuk meningkatkan hasil pertanian dengan cara mengoptimalkan lahan perhatian yang sudah ada, selain dari itu Pulau Jawa dan Bali penduduknya sejak tahun 2009 dikelompokkan sebagai daerah sangat padat (Badan Pertanahan Nasional RI, 2009).

Usaha yang paling mungkin dilakukan untuk daerah Jawa dan Bali dalam peningkatan produksi padi adalah intensifikasi yaitu dengan memperhatikan perencanaan penggunaan lahan dan penggunaan air irigasi yang tepat salah satunya melalui pemintakatan (zonasi) lahan. Disamping itu untuk melakukan intensifikasi pertanian oleh pemerintah dilakukan dengan cara yang disebut Panca Usaha Tani yaitu berupa pemilihan bibit unggul, pengolahan tanah yang baik, pemupukan yang tepat, pengendalian hama dan penyakit tanaman, dan pengairan atau irigasi yang baik. Ekstensifikasi dan intensifikasi oleh pemperintah juga dilakukan dengan memperbanyak pembuatan atau perbaikan bendungan dan embung baik secara regional maupun nasional diseluruh Indonesia.

Pada tahun 2045 (Generasi Emas), Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia 70%-nya dalam usia produktif (15-64 tahun), bonus demografi ini harus dimanfaatkan dengan baik di antaranya dalam bidang ketahanan pangan. Sebagai tolok ukur saat ini dengan adanya produktivitas tenaga kerja yang memadai pada kegiatan usahatani, mendorong para pekerja lebih mengutamakan kegiatan pada usahatani, walaupun kesempatan kerja pada kegiatan ini relatif terbatas. Semakin luas garapan usahatani, semakin rendah partisipasi kerja anggota rumah tangga. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, pada Agustus 2023, jumlah tenaga kerja pertanian di Indonesia mencapai 36,46 orang (26,07 %), kehutanan dan perikanan pada Februari 2022 atau 29,96 % dari total penduduk pekerja sebanyak 135,61 juta jiwa, sekaligus menjadi yang terbesar dibanding lapangan pekerja lainnya.

Kesempatan kerja yang diciptakan dari sektor pertanian selama periode 2020-2022 terus meningkat rerata sebesar 0.11 persen per tahunnya dan yang patut dicermati adalah terjadi laju konversi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian dari 10,68 juta ha tahun 2019 menjadi 10,21 juta ha tahun 2023 (BPS, 2024). Sementara itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tahun 2020 telah menyampaikan hasil verifikasi luas lahan baku sawah, berdasarkan hasil perhitungan ulang tahun 2019 tercatat 7.463.948 hektar luas lahan baku sawah.

Pertumbuhan produksi padi sawah akibat konversi penggunaan lahan tidak menguntungkan bagi ketahanan pangan secara regional dan nasional di masa datang, permasalahan lainnya yang dihadapi Indonesia adalah peningkatan jumlah penduduk di setiap tahunnya. Permasalahan tersebut secara tidak langsung memicu terjadinya peningkatan kebutuhan lahan akibat konsumsi beras oleh penduduk.

Laju konversi penggunaan lahan merupakan indikator terhadap ketahanan pangan, semakin besar laju konversi penggunaan lahan semakin menurun ketahanan pangannya. Laju konversi penggunaan lahan dapat diketahui di antaranya dengan melakukan analisis keruangan (tumpang susun) dari citra satelit dengan 2 (dua) kurun waktu yang berbeda, laju konversi penggunaan lahan dapat juga dilakukan pengumpulan datanya melalui BPS, sementara data dari BPS laju pertambahan penduduk Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya. Dengan diketahuinya laju konversi penggunaan lahan dan laju pertambahan penduduk maka akan dapat diketahui sejauh mana ketahanan pangan yang terjadi secara regional maupun nasional. Laju konversi penggunaan lahan pertanian ke non pertanian dan laju pertambahan penduduk dapat untuk memprediksi ketahanan pangan dengan membuat 2 (dua) persamaan yaitu: 1) persamaan laju konversi penggunaan lahan dan 2) persamaan laju pertambahan penduduk.

Ketahanan pangan terkait erat dengan ketersediaan data yang baru dan akurat. Data lahan pertanian per tahun yang akurat akan dapat menentukan dalam kebijakan ketahanan pangan. Pengumpulan data banyak dilakukan oleh berbagai institusi, misalnya BPS, Kementerian Pertanian, Kementerian ATR/BPN dan lain sebagainya. Hasil dari pengumpulan data akan berbeda tergantung metode yang digunakan. Sebagai contoh perhitungan di atas adalah data dari BPS yang didapatkan pada tahun 2023, Indonesia masih merupakan negara yang surplus beras, namun harus ada kebijakan/tindakan tertentu sehingga 12,94 tahun yang akan datang atau tahun 2036 Indonesia tidak terjadi limit swasembada beras, tindakan tersebut diantaranya intensifikasi untuk Pulau Jawa dan Bali dan ekstensifikasi untuk luar Jawa dan Bali, sihingga tahun 2036 tidak menjadi negara yang minus beras.

Ketahanan pangan secara nasional dapat juga dihitung berdasarkan data dari Kementerian ATR/BPN hasil verifikasi tahun 2019 pada lahan sawah baku sebesar 7.463.948 hektar dan apabila dihitung ketahanan pangan dengan penduduk Indonesia tahun 2019 sebesar 269,6 juta jiwa (BPS), maka penggunaan rumus (2) diatas pada tahun 2019 yang lalu dibutuhkan lahan sebesar: 8.159.097,37 hektar, dengan data dan hasil perhitungan ini dapat dikatakan bahwa Indonesia pada tahun 2019 sudah terjadi minus ketahanan pangan, belum lagi hingga tahun 2023 banyak terjadi konversi penggunaan tanah dan pertambahan penduduk.

Pemerintah hingga kini telah mengupayakan berbagai cara dalam mengatasi ketahanan pangan di Indonesia baik secara intensifikasi dan ekstensifikasi, diantaranya dengan berbagai peraturan dan perundangan yaitu antara lain: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan melalui Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) yang semuanya bertujuan untuk mencegah penurunan ketahanan pangan.

Kesimpulan : Pemintakatan lahan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam mengurangi konversi penggunaan lahan serta sebagai pedoman (arahan) dalam penentuan lahan pangan berkelanjutan khususnya di Pulau Jawa dan Bali.
Rekomendasi : Pemintakan berpola mengelompok (ikutan) dapat diarahkan dalam pertimbangan kebijakan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) serta pertimbangan dalam mempertahankan dan meningkatkan ketahanan pangan melalui Lahan Pangan Pertanian Berkelanjutan (LP2B) dan pertimbangan penentuan Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD).
(mar/Prof. Dr. Ir. Rochmat Martanto, M.Si., Ringkasan pidato pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Konversi Penggunaan Lahan pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta, Jumat 25 Oktober 2024. Judul pidato : “Pemintakatan Lahan untuk Menekan Konversi Penggunaan Lahan pada Lahan Pertanian Produktif”).