News  

Saatnya Kita Mau Menulis Keluarga Sendiri

Ilustrasi keluarga : ayah, ibu dan dua anak. (Sumber foto : BKKBN)

bernasnews – Bertajuk Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas menjadi tema Hari Keluarga Nasional (Harganas) 2024 pada tanggal 29 Juni. Kita sebagai bagian dari keluarga inti, keluarga besar dan keluarga setanah air memperingati momentum istimewa itu dengan penuh syukur dan suka cita. Harapan umum, sebagaimana ditetapkan dalam tema momentum, keluarga-keluarga di Indonesia semakin berkualitas serta siap menuju Indonesia Emas tahun 2045 dan seterusnya.

Harganas 2024 dipusatkan di Semarang, Jawa Tengah. Penyelenggaraan peringatan ini menjadi wahana meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sosok keluarga bagi pembangunan bangsa dan negara.

Sebagaimana diberitakan media, kota Semarang didaulat menjadi tuan rumah penyelenggaraan Harganas ke-31 Tahun 2024 karena keberhasilan Provinsi Jawa Tengah dan Kota Semarang dalam percepatan penurunan stunting. 

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dokter Hasto Wardoyo menekankan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat, tempat bernaung, saling mencintai dan melindungi.

“Dari keluarga inilah akan dilahirkan putra-putri generasi penerus dan penentu masa depan warga. Keluarga juga berperan dalam mewariskan nilai-nilai luhur kehidupan kepada generasi muda penentu pembangunan bangsa dan negara. Mari kita jadikan Harganas kali ini menjadi momentum penting bagi kita semua untuk menghidupkan kembali fungsi keluarga,” kata Hasto sebagaimana dikutip media nasional.

Mengapa dan bagaimana

Dari kaca mata literasi, kita mengenal adanya buku-buku biografi seseorang (dan keluarganya) baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Buku-buku itu umumnya inspiratif dan memotivasi kehidupan. Pertanyaan sederhananya adalah apakah hanya orang besar dan orang penting yang boleh atau layak dibuatkan buku atau menulis buku sendiri (autobiografi). Jawabnya adalah tidak.

Setiap orang, pada hakikatnya, punya hak untuk menulis. Termasuk menulis tentang diri sendiri. Mengapa perlu atau harus? Ya karena kalau bukan diri sendiri (yang orang biasa ini), siapa yang mau menuliskannya? Kecuali kalau kita memiliki karya yang bermakna bagi orang banyak dan diketahui oleh wartawan, boleh jadi kita dituliskan di media. Kalau tidak, ya jangan harap.

Dengan semakin berkembangnya sarana teknologi informasi dan komunikasi, maka upaya mengkomunikasikan diri, kegiatan dan karya kita semakin luas. Sarana media sosial menjadi salah satu cara untuk mewujudkannya. Sarana lain adalah buku. Khususnya adalah buku keluarga.

Dalam kenyataan, belum banyak tercipta karya buku keluarga yang berisi kisah-kisah keluarga biasa atau kebanyakan. Pertanyaannya (atau gugatannya) adalah untuk apa, apakah perlu? Ya, perlu atau tidak perlu adalah relatif. Namun dalam kenyataan pula, ada banyak (atau semakin banyak) keluarga yang kehilangan atau putus hubungan keluargaannya. Penyebabnya adalah semakin minimnya kesempatan bertemu atau silaturahmi. Selain itu, mereka tidak memiliki paguyuban atau trah yang dapat membantu menjelaskan hubungan keluarga vertikal dan horisontal.

Seandainya keluarga memiliki buku keluarga yang antara lain memuat silsilah atau pohon keluarga, setidak-tidaknya, tantangan “putus hubungan” itu dapat dicegah atau direm terjadinya. 

Di perpustakaan pribadi yang tidak seberapa, penulis memiliki beberapa buku yang bicara tentang keluarga. Ada nama keluarga yang dikenal, namun selebihnya tidak dikenal. Yang penting dengan membaca buku itu adalah kita dapat belajar tentang hal itu. Tentang karya tulisnya, dan tentang isinya yang inspiratif.   

Bagaimana menulis tentang keluarga? Ini dapat dimulai dengan prinsip menulis semampunya atau sakisone (Jawa) dan menulis tentang sesuatu yang paling diketahui diri sendiri. Kita sebagai orang biasa, atau orang rata-rata, kiranya tahu tentang perasaan kita, karakter kita, atau peristiwa yang kita alami.

Kata orang bijak, hidup itu adalah anugerah. Dan anugerah yang paling istimewa adalah keluarga. Maka wajar apabila kita senantiasa bersemangat dalam belajar dan berkarya karena (demi) keluarga. Seorang pelajar, sejak di bangku taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, senantiasa terhubung dengan keluarga dalam meniti proses keberhasilannya. Ketika ulangan dapat nilai bagus, naik kelas sampai lulus ujian, orangtua biasa memberikan apreasiasi. Minimal ucapan selamat dan atau pemberian hadiah tanda kasih sebagai pemacu semangat anak.

Demikian pula ketika seseorang telah berada di posisi bekerja. Baik ayah sebagai kepala keluarga atau ibu sebagai wakil kepala keluarga kiranya akan bersemangat dalam berkarya demi keluarga.

Dinamika dalam keluarga, dari hal-hal kecil dan sederhana sampai ke nilai-nilai keutamaan hidup, dapat diwariskan ke anak cucu dalam berbagai bentuk. Baik berupa foto, video, film, maupun narasi tekstual dalam bentuk buku.

Apa isinya? Terserah keluarga dan tergantung kemampuan anggota keluarga untuk mewujudkan dokumentasi keluarga bersangkutan. Dapat saja berupa kisah, memori atau biografi keluarga. Untuk biografi dapat yang mini, midi atau maksi. Tebal atau tipis buku tergantung kebutuhan dan kemampuan dalam mengeksplorasi kisah. Foto-foto dokumentasi dapat menguatkan dan mendukung kisah tersebut. Atau dapat pula disertai ilustrasi lukisan kalau ada anggota keluarga yang mampu menggambar. Di dalamnya, dapat pula disertai materi pohon keluarga.

Bagaimana kalau tulisannya dapat bentuk esai atau artikel sederhana dengan bahasa yang renyah dan mudah dipahami. Mengapa tidak? Kebiasaan atau pesan-pesan dari orangtua yang diingat, dapat ditulis dalam rumpun opini yang segar dan sederhana. Misalnya tentang kedisiplinan, kejujuran, semangat juang pantang menyerah, dan sebagainya.

Atau kalau mau menghadirkan bentuk karya fiksi, seperti puisi dan atau cerita pendek, novelet dan novel, juga tidak dilarang. Karena bentuknya fiksi, isinya mau sepenuhnya faktual atau hanya sebagian saja, tergantung pilihan penulis keluarga bersangkutan. Untuk fiksi yang sepenuhnya faktual atau cerita yang sesuai dengan fakta dinamakan true story. Namun dapat juga rasionya 50 : 50 atau 25  : 75, antara fakta dan imajinasi.

Intinya adalah bagaimana supaya ikatan dan hubungan keluarga dalam keluarga kita masing-masing. Maka upaya untuk mempertahankan hubungan pun harus terus dilakukan. Dimulai dengan saling menyapa, saling berkunjung, saling mendukung, sampai pembentukan lembaga paguyuban trah. Untuk yang terakhir ini pun tetap ada tantangannya yakni kesediaan anggota trah untuk secara berkala atau rutin hadir di pertemuan. Tantangan berikutnya adalah perlunya kaderisasi dan regenerasi pengurus trah. 

Selamat beraktivitas bersama keluarga, saling menjaga cinta kasih dan kerukunan, serta tetap srawung dengan sesama. Saatnyalah, kita mau menulis tentang keluarga sendiri, betapa pun sederhananya. (Anto Margono, Pegiat Literasi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *