bernasnews — Menyoal aspek kompetensi tidak bisa dipisahkan dari unsur kinerja. Aspek kompetensi merupakan salah satu harapan dalam performance management planning. Performance management adalah proses menciptakan pemahaman bersama tentang apa yang akan dicapai dan tentang cara mengelola karyawan agar dapat meningkatkan tercapainya sasaran yang telah ditetapkan. Sedangkan unsur kinerja terdiri dari dua aspek. Pertama adalah hasil, yakni apa yang harus dicapai dan kedua adalah kompetensi, yakni bagaimana mencapainya.
Kompetensi adalah karakteristik dasar dari seseorang yang membuatnya mencapai prestasi istimewa. Karakteristik ini lazimnya ditunjukkan secara lebih sering dalam berbagai situasi dan terbukti membawa hasil yang lebih baik. Hanya saja dalam pencapaian prestasi dari individu atau kelompok tidak dapat hanya diperoleh dari hasil akhir (result) saja, akan tetapi harus memperhatikan pula proses yang harus dilalui untuk mencapai hasil prestasi tersebut. Kondisi ini dapat terwujud manakala ada suatu komitmen yang sudah disepakati bersama dan wajib dilaksanakan bersama oleh seluruh pegawai atau pekerja.
Sementara kompetensi dalam performance management meliputi unsur memastikan, bahwa karyawan mengetahui, dan memahami model kompetensi dan mengerti bagaimana kompetensi berhubungan dengan pencapaian sasaran, serta minta karyawan untuk menetapkan sasaran yang berhubungan dengan satu atau dua pengembangan kompetensi. Meskipun tidak selalu berbanding lurus dengan kinerja seseorang, kompetensi tetap merupakan aspek yang sangat penting dalam menentukan hasil kinerjanya. Tentu saja perssoalan ini perlu juga tumbuhnya unsur etos kerja.
Etos kerja atau budaya kerja adalah suatu pandangan yang khas terhadap makna kerja pada suatu golongan sosial atau masyarakat. Jika dikaitkan dengan suatu profesi tertentu, dapat dimaknai sebagai Kode “Etik Profesi.” Di negara Indonesia, etos kerja dapat terkait dengan nilai-nilai luhur. Misalnya, budi pekerti, mendudukkan manusia sesuai dengan harkat dan martabat, bekerja secara cerdas, rela berkorban dan penuh pengabdian.
Pada dasarnya ada 4 (empat) unsur penting dalam etos kerja yang perlu dimiliki oleh seseorang, yakni: kejujuran, kedisiplinan, ketekunan dan kerapian kerja. Oleh karenanya untuk dapat menuju etos kerja yang baik, maka kita perlu menghilangkan adanya konsep “Hedonisme”, yakni suatu konsep yang menganut faham kerja secara enaknya sendiri dan cenderung lari dari tanggung jawab.
Untuk menghilangkan pemikiran “Hedonisme” tersebut, kiranya dapat dilakukan melalui empat pilar kiat sukses dalam pengembangan etos kerja. Pilar pertama, Self Awareness, yakni kesadaran diri dari berbagai kekuatan dan kelemahan. Pilar kedua, Ingenuity, yakni kecerdikkan, secara percaya diri terbuka, berinovasi dan beradaptasi untuk menghadapi dunia yang selalu berubah. Pilar ke-empat, Love, yakni berperilaku positif terhadap orang lain, sikap mencintai. dan pilar ke-lima adalah Heroism, yakni semangat juang dan berorientasi lebih (Lowney,2003).
Untuk menciptakan tenaga kerja yang memiliki etos kerja yang baik atau unggul, perlu adanya adanya pemberdayaan yang tepat. Menurut Fx. Suwarto (2008) ada beberapa model pemberdayaan yang sering digunakan. Model pertama pemberdayaan adalah desire. Pada tahap pertama dalam model pemberdayaan adalah adanya keinginan dari manajemen untuk mendelegasikan dan melibatkan pekerja.
Dalam hal ini meliputi, pekerja diberi kesempatan untuk mengidentifikasi permasalahan yang berkembang, memperkecil directive personality dan memperluas keterlibatan pekerja, mendorong terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali strategi kerja, serta mampu menggambarkan keahlian tim dan melatih karyawan untuk self-control.
Model pemberdayaan kedua adalah trust. Dalam model ini langkah berikutnya adalah membangun kepercayaan antara manajemen dan karyawan. Adanya saling percaya di antara anggota organisasi akan tercipta kondisi yang harmoni. Dalam hal ini meliputi: karyawan diberi kesempatan untuk berpartisispasi dalam pembuatan kebijakan, menyediakan waktu dan sumberdaya yang mencukupi bagi karyawan dalam menyelesaikan kerja, menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan kerja, menghargai perbedaan pandangan dan menghargai kesuksesan karyawan lain, menyediakan akses informasi yang cukup.
Model pemberdayaan yang ketiga adalah confident. Dalam model pemberdayaan ini langkah selanjutnya adalah menimbulkan rasa percaya diri karyawan dengan menghargai terhadap kemampuan yang dimilki karyawan. Dalam hal ini meliputi: mendelegasikan tugas yang penting kepada karyawan, menggali ide dan saran dari karyawan, memperluas tugas dan membangun jejaring antar departemen/divisi/bagian, menyediakan jadwal job instruction dan mendorong penyelesaian yang baik.
Model pemberdayaan keempat adalah credibility. Dalam model pemberdayaan ini langkah selanjutnya adalah menjaga kredibilitas dengan penghargaan dan pengembangan lingkungan kerja yang mendorong kompetisi yang sehat, sehingga tercipta organisasi yang memiliki performance yang tinggi. Dalam hal ini meliputi: memandang karyawan sebagai parner strategies, peningkatan target disemua bagian pekerjaan, memperkenalkan inisiatif individu untuk melakukan perubahan melalui partisipasi, membantu menyelesaikan perbedaan dalam menentukan tujuan dan prioritas.
Model pemberdayaan yang kelima adalah accountability. Dalam model pemberdayaan ini, langkah berikutnya adalah pertanggungjawaban karyawan pada wewenang yang diberikan. Dalam hal ini meliputi: menggunakan jalur training dalam mengevaluasi kinerja karyawan, memberikan tugas dan ukuran yang jelas, melibatkan karyawan dalam penentuan standar dan ukuran, memberikan saran dan bantuan kepada karyawan dalam menyelesaikan beban kerjanya, menyediakan periode/waktu pemberian feed-back.
Model pemberdayaan yang keenam adalah communication. Dalam model pemberdayaan ini, langkah terakhir adalah adanya komunikasi yang terbuka untuk menciptakan saling memahami antara karyawan dan manajemen. Dalam hal ini meliputi: menetapkan kebijakan open door communication, menyediakan waktu untuk mendapatkan informasi dan mendiskusikan permasalahan secara terbuka, menciptakan kesempatan untuk cross-training. Aspek pemberdayaan hendaknya juga mengacu pada pola perubahan organisasi-perusahaan yang berkembang secara dinamis dan kompleks.
Apapun bentuknya, perubahan diharapkan mampu memberi makna atau manfaat yang lebih baik bagi bagi diri sendiri dan bagi orang lain, tanpa harus merugikan atau kepentingan yang lain. Dengan demikian perubahan yang menyangkut moral dan kehidupan kita sehari-hari menjadi bagian yang sangat krusial untuk diwujudnyatakan dalam perilaku hidup dan kerja secara keseharian, sehingga tercipta kompetensi dan etos kerja yang memahadahi dan terkait erat dan saling melengkapi, mengingat tantangan organisasi saat ini sarat dengan persaingan yang sangat kompetitip. (Z. Bambang Darmadi, Instruktur Pelatihan dan Penulis Buku)