BERNASNEWS.COM – Sidang perkara praperadilan terhadap Polres Bantul digelar di PN Bantul, Jumat 31 Desember 2021. Dalam sidang yang menghadirkan saksi ahli itu, Hakim Gatot Raharjo SH MH mempertanyakan 3 sprindik (Surat Perintah Penyidikan) yang dikeluarkan Polres Bantul dalam menetapkan status tersangka terhadap Pemohon.
Sidang akan dilanjutkan pada Senin 3 Januari 2022 dengan agenda kesimpulan dan pada Selasa 4 Januari 2022 sidang dilanjutkan dengan agenda putusan perkara praperadilan tersebut.
“Masyarakat Indonesia, khususnya Yogyakarta, menunggu kearifan Hakim Pengadilan Negeri Bantul (PN) Gatot Raharjo SH, MH yang mengadili kasus PraPeradilan antara Leohardy Fanany (Pemohon) dan Polres Bantul (Termohon). Munculnya tiga Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) dalam penetapan tersangka dan beberapa pelanggaran atas prosedur oleh Polres Bantul menjadi kunci dari keputusan yang akan diambil oleh Gatot Raharjo pada Selasa (04/01/2022),” kata Dadang Danie Purnama SH, Pengacara Pemohon, dalam siaran pers yang diterima Bernasnews.com pada Minggu 2 Januari 2022.
Menurut Dadang Purnama, dalam sidang yang menghadirkan saksi ahli, pada Jumat (31//12/2021), Hakim Gatot mempertanyakan adanya tiga SEPRINDIK (Surat Perintah Penyidikan) yang dikeluarkan Polres Bantul dalam menetapkan status tersangka terhadap Pemohon.
Dikatakan, tiga Sprindik ini bertentangan dengan keterangan Saksi Ahli Pemohon JS Murdomo SH MH yang menegaskan bahwa dalam suatu penyidikan tidak dibenarkan adanya dua atau lebih Sprindik. Jika dikeluarkan sprindik baru, maka sprindik sebelumnya harus dibatalkan dulu. Substansi dari sprindik adalah sebagai alat selain alat kontrol/komunikasi juga menyangkut hak asasi manusia. Selain sprindik, alat kontrol/komunikasi dan terkait dengan hak asasi manusia adalah SPDP atau Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyelidikan. SPDP harus dikirimkan dan diterima oleh tersangka.
Dalam sidang, Tim Penasihat Hukum Polres Bantul (Termohon) yang dipimpin Heru Nurcahya SH MH menghadirkan saksi dua penyidik yaitu Aipda Ali Mahfud SH dan Dian Yuni Anggraini. Keduanya menyatakan telah menjalankan prosedur penyidikan dengan benar sesuai arahan atasan. Diakui para saksi penyidik, ada 3 Sprindik karena ada perubahan sprindik 2 kali dari Sprindik 16 ke Sprindik 16a dan 16b karena mengikuti arahan Kasat Reskrim dan juga adanya pergantian Kasat Reskrim.
Dalam kesaksiannya AIPDA Ali Mahfud SH, sprindik pertama dan kedua terbit atas perintah KASAT Reskrim lama (AKP.Ngadi SH. MH), Sprindik ketiga terbit atas perintah KASAT Reskrim baru (AKP. ARCHYE NEVADHA, SIK, MH). Masing-masing sprindik adalah Bukti T6 Sperindik No. SP. Sidik/16/II/2021/Reskrim, tgl 22 Februari 2020, SPDP nomor SPDP/15/II/2021/Reskrim tgl 25 Februari 2021, Bukti T28 Sperindik No, SP.Sidik/16.a/IX/2021/Reskrim, tgl 9 September 2021, SPDP nomor SPDP/15.a/IX/2021/Reskrim tgl. 16 September 2021 dan Bukti T32 Sperindik No.SP.Sidik/16.b/XI/2021/Reskrim, tgl 4 November 2021, SPDP nomor SPDP/15.b/XI/2021/Reskrim tgl 8 November 2021.
Keterangan palsu
Selain munculnya tiga Sprindik, menurut Pengacara Pemohon Dadang Danie Purnama SH, Polres Bantul telah memberi keterangan palsu terkait dengan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Berdasarkan Pasal 14 ayat (4) PERKAPOLRI Nomor 6 Tahun 2019, Dadang menjelaskan, yang berisi kewajiban, “Dalam hal Tersangka ditetapkan setelah lebih dari 7 (tujuh) hari diterbitkan Surat Perintah Penyidikan, dikirimkan surat pemberitahuan penetapan tersangka dengan dilampirkan SPDP sebelumnya.”
Dalam sidang, Saksi Dian Yuni Anggraini menyatakan sudah mengirim SPDP ke Tersangka Leohardy Fanany tapi ditolak dan tidak mau menerima karena masih akan berkonsultasi dengan penasihat hukumnya. Namun hal itu disanggah oleh Dadang Danie, pengacara Leohardy Fanany (Pemohon).
“Sdr Dian telah memberikan keterangan palsu. Klien kami Leohardy Fanany tidak pernah menerima SPDP. Tatacara dan jangka waktu pengiriman SPDP yang menjadi hak dari klien kami dilanggar oleh Polres Bantul,” ujar Dadang Danie yang juga menanyakan kelaziman munculnya Sprindik lebih dari satu dan munculnya tiga sprindik akan diikuti terbitnya 3 (tiga) SPDP.
Menanggapi komentar dari Dadang Danie, Dian mengatakan bahwa dirinya hanya disuruh oleh penyidik Ali Mahfud.Dadang Danie menegaskan bahwa Polres Bantul telah melakukan pelanggaran dan kesalahan prosedur dalam menetap kliennya sebagai tersangka.
Tidak ada kerugian
Menurut Dadang, Polres Bantul dalam sidang gagal menunjukan keterkaitan angka-angka tersebut dengan Leohardy Fanany. Dokumen yang dijadikan alat bukti Penetapan Tersangka tidak ada yang menyatakan kerugian perusahaan akibat perbuatan Pemohon Leohardy Fanany, antara lain :
1. Bukti T26, Laporan Hasil Pemeriksaan Auditor PT Pixel Perdana Jaya periode 31 Desember 2015-2019, hanya memberikan laporan tentang jumlah piutang perusahaan periode terkait.
2. Bukti T37, Berita Acara Audit PT. Pixel Perdana Jaya tanggal 20 Nopember 2021, hanya melaporkan tentang piutang Pixel Perdana Jaya terhadap 9 toko
3. Bukti T25, berita acara pemeriksaan ahli Tian Herlambang dari KAP Henry Dan Sugeng tanggal 29 Juli 2021, berisi penegasan Bukti T37 tentang jumlah piutang PT. Pixel Perdana Jaya terhadap 9 toko
4. Bukti T38, rangkuman rekening koran Leohardy Fanany, hanya memperlihatkan aliran dana dalam rekening
“Angka yang digunakan dalam audit internal dan atau audit eksternal yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Henry Dan Sugeng yang berkantor di Yogyakarta, dan yang oleh Polres Bantul diduga sebagai jumlah kerugian ternyata adalah piutang PT Pixel Perdana Jaya kepada 9 toko,” ujar Dadang Danie.
Selain itu, pihak Polres Bantul (Termohon) juga tidak bisa menunjukan bukti dokumen berupa surat iin khusus penyitaan dari Ketua PN Bantul terhadap seluruh dokumen yang dijadikan alat bukti dugaan tindak pidana pasal 374 KUHAP. Tidak adanya izin khusus dari PN Bantul ini juga diakui oleh AIPDA Ali Mahfud SH, penyidik kasus ini. Ali Mahfud SH mengatakan di dalam sidang pembuktian dan saksi praperadilan Nomor 1/PID.PRA/2021/PN.BTL tanggal 31 Desember 2021, bahwa semua yang dijadikan alat bukti tidak dimintakan iin Ketua Pengadilan Negeri Bantul.
Dalam kesaksiannya AIPDA Ali Mahfud SH juga mengakui menerima sejumlah salinan dokumen dari Leohardy Fanany, terdiri Salinan Berita acara serah terima penyerahan sertifikat nomor 28/BA/Alianto-Lawfirm/VIII.2020 tanggal 24 Agustus 2020, Salinan Sertifikat SHM Nomor 796, atas nama Lusi Harianto (isteri dari Leohardy Fanany) dan Salinan Rekap Rekening Koran.
Dadang Danie menegaskan, apabila seluruh dokumen tsb dikorelasikan dengan pasal 109 KUHAP ayat 2, maka jelas perkara ini bukan perkara pidana namun salinan dokumen tersebut diabaikan oleh AIPDA Ali Mahfud kan SH.
Saksi Ahli, JS Murdomo mengatakan, sebuah barang bukti untuk menjadi alat bukti yang sah harus dengan izin dari pengadilan negeri setempat, sesuai dengan pasal 38 KUHAP, dan Standar Operasi Prosedur (SOP) Penyitaan BARESKRIM POLRI, tentang Pelaksanaan Penyitaan (D) terkait Penyitaan Barang (1) dan diluar tertangkap tangan (a) Diperlukan surat ijin/surat ijin khusus penyitaan dari ketua pengadilan negeri setempat.
“Oleh karena itu, berdasar pada Pasal 184 KUHAP dengan alat bukti yang sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka,” tegas Murdomo di depan Hakim Tunggal Gatot Raharjo SH MH.
Aipda Ali Mahfud, dalam kesaksiannya mengakui seluruh dokumen yang dipergunakan sebagai alat bukti dasar penetapan tersangka Pemohon Leohardy Fanany ( dolumen bukti T26, Laporan Hasil Auditor PT. Pixel Perdana Jaya, dokumen bukti T37 Salinan Berita Acara Audit PT. Pixel Perdana Jaya tanggal 20 Nopember 2021, dokumen bukti T38 Salinan Rangkuman Rekening Koran ) seluruhnya tidak meminta ijin khusus penyitaan dari Kepala Pengadilan Negeri Bantul.
“Sudah pasti apa yang dilakukan Polres Bantul yang didukung dengan pengakuan Ali ini bertentangan dengan pasal 184 KUHP dan huruf D angka 1a SOP Penyitaan Bareskrim POLRI karena cara perolehannya tidak sah,” ujar Dadang yang juga menegaskan adanya indikasi kuat penetapan tersangka terhadap Leohardy Fanany bersifat pemaksaan.
Menurut Ahli (JS. Murdomo, SH. M. HUM) Sprindik dan SPDP seharusnya hanya ada 1(Satu) dalam sebuah proses penyidikan, apabila akan ada perubahan maka Sprindik dan SPDP yang lama harus dibatalkan terlebih dahulu, kemudian dibuatkan sprindik dan SPDP yang baru (Perkap Polri Nomor 6 tahun 2016). (lip)