BERNASNEWS.COM – Penghageng Kawedanan Agung Panitera Pura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat GKR Condrokirono mendatangi 7 lokasi bekas tambang pasir yang telah ditutup di wilayah Kepanewonan Cangkringan, Sleman, Selasa (12/10/2021). Kunjungan ini sebagai tindak lanjut dari penutupan belasan tambang pasir di lereng Gunung Merapi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X (Sultan HB X) karena aktivitas pengerukan pasir dan material vulkanik yang dilakukan secara ilegal dan merambah tanah keraton (Sultan Ground/SG).
Putri kedua Sultan HBX itu mengaku prihatin atas parahnya kerusakan lingkungan akibat penambangan yang sembrono. Dia menyebut, hal itu dapat dipastikan berdampak pada kemampuan tanah menyerap dan menyimpan air.
“Karena posisi tambang berada di sultan ground, jadi keraton memiliki wewenang untuk memperbaiki. Saat ini, kami masih diskusi dengan dinas terkait, kira-kira tanaman apa yang cocok (untuk reboisasi) dan dapat bermanfaat bagi warga sekitar,” kata GKR Condrokirono dalam rilis yang diterima Bernasnews.com, Kamis 14 Oktober 2021 malam.
Kunjung itu masih dalam rangka menindaklanjuti dawuh Ngarsa Dalem (Sultan HBX) yaitu gunung bali gunung. Menurut GKR Condrokirono, Secara teknis, menurut GKR Condrokirono, pihak keraton dan dinas terkait akan berdialog dengan para lurah yang memangku wilayah tempat tambang berada. Sebab, program pemulihan yang akan dilakukan itu dapat dipastikan akan berpengaruh terhadap pendapatan warga yang selama ini bergantung pada hasil tambang pasir dan batuan.
“Kita tidak boleh tutup mata, karena ini pasti akan menyebabkan alih profesi warga. Jadi areal SG yang sudah rusak itu harus diperbaiki dengan pertimbangan memiliki dampak positif untuk masyarakat sekitar,” kata GKR Condrokirono.
Sementr terkait bentuk riil program rehabilitasi yang akan dilakukan, GKR Condrokirono menyebut bisa berupa pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan dan lainnya. Namun, dia menekankan harus ada upaya untuk meminimalisir potensi bahaya sebelum program rehabilitasi dimulai. GKR Condrokirono memastikan, keraton tidak ingin rehabilitasi secara serampangan sehingga justru akan menimbulkan bencana ikutan, seperti tanah longsor.
“Saya berharap, dawuh Ngarsa Dalem ini dilaksanakan. Ke depan, saya minta masyarakat di sekitar program rehabilitasi ikut menjaga,” katanya.
GKR Condrokirono mengingatkan, jika masyarakat terus abai terhadap praktik-praktik yang merusak, kekeringan dikhawatirkan akan melanda. “Mungkin dampak kekeringan belum terasa sekarang. Karena yang dirusak tambang itu adalah daerah tangkapan air. Jadi mari bersama-sama lebih berperan, proaktif ikut menjaga kelestarian, dalam hal ini khususnya lereng Merapi,” tegasnya.
Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY Kuncoro Cahyo Aji yang ditemui di sela kunjungan menyebut, kondisi lahan bekas penambangan masuk dalam kategori rusak parah. “Parah, ini bahkan merusak daerah tangkapan air. Jadi harus segera dikembalikan sesuai fungsinya,” kata Kuncoro.
Membenarkan pendapat GKR Condrokirono, menurut dia lahan rusak tersebut memerlukan proses cukup panjang untuk dapat kembali menopang sumber-sumber air di lereng Gunung Merapi. “Kita perlu melakukan studi tanah terlebih dahulu sebelum memulai rehabilitasi dan reboisasi,” kata Kuncoro.
Ditanya terkait rencana ke depan untuk merehabilitasi lereng Gunung Merapi, Kuncoro mengatakan akan segera membahas rancangan teknisnya. “Dalam waktu dekat akan kami bahas mengenai rancangan teknisnya. Tapi yang jelas kami tidak bisa bekerja sendiri, kami akan bekerja bersama-sama dengan instansi terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas PU serta pihak kalurahan akan kami libatkan,” katanya.
Soal pembiayaan Kuncoro menambahkan, untuk sementara ini masih dianggarkan per Organisai Perangkat Daerah (OPD).”Setelah kita membuat grand design, mungkin akan terlihat siapa mengerjakan apa,” ungkapnya.
Luasa Lahan Rusak Belum Dihitung
Sementara Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Energi Sumber Daya Mineral (DPUP ESDM) DIY Pramuji Ruswandono yang juga turut hadir dalam kunjungan mengaku belum memiliki data luas lahan yang mengalami kerusakan secara detail.
“Kami belum mengukur, karena ini Sultan Ground, jadi saya belum punya data. Kalau kami dari dinas (DPUP ESDM DIY) mengurus (area penambangan) yang berizin. Kalau perusahaan-perusahaan pemegang IUP itu kita tahu. Tapi kalau yang kemarin diportal itu kita tidak tahu, luasnya kan bervariasi itu,” kata Pramuji.
Pramuji mengatakan pihaknya baru melakukan pengawasan setelah pihak Keraton Yogyakarta memasang portal di jalan akses tambang ilegal. “Kalau setelah pemasangan portal kita lakukan kontrol. Ada kerusakan tidak di alamnya,” terangnya.
Selain tidak memiliki data lahan yang mengalami kerusakan, Pramuji mengakui selama ini tidak ada pengawasan di lahan-lahan pertambangan itu karena pihaknya hanya memonitor perusahaan yang berizin.
“Monitoring itu kan sebenarnya hanya inventarisasi dan identifikasi. Kalau yang kami kendalikan, kan yang memiliki izin. Kalau yang tidak memiliki izin hanya didata seperti ini kemudian untuk kemudian ditidaklanjuti BPBD berupa pemasangan portal.”
Pramuji mengaku tidak pernah mengeluarkan izin di lahan bukan sungai dan palungnya. “Tidak mungkin terbit izin penambangan yang bukan di wilayah sungai. Yang kita plot untuk wilayah penambangan itu yang berada di palung sungai. Selain itu (di palung sungai) tidak akan kita terbitkan (izin),” katanya.
Sementara Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Biwara Yuswantantara menambahkan, pihaknya sejauh ini masih mengkaji potensi bahaya yang mugkin timbul jika tidak segera dilakukan rehabilitasi. “Seperti yang kita lihat, potensinya bencananya sangat besar. Untuk itu langkah pertamanya kita melakukan penutupan (lokasi penambangan). Kita menunggu hasil kajian untuk langkah selanjutnya,” ujar Biwara. (*/lip)