News  

Sosialisasi Perda Tentang Batik Jogja Bersama Sahabat Sinar

BERNASNEWS.COM —  Motif atau corak batik gagrak Yogyakarta yang kemudian sebagai branding disebut Batik Jogja. Batik kini telah berkembang sangat luar biasa, hampir di kampung-kampung merata muncul inovasi-inovasi kreatifitas masyarakat untuk belajar membatik. Sehingga perlu adanya perlindungan karya-karya batik di DIY dikarenakan banyaknya klaim dari daerah lain, bahkan dari luar negeri atau negara lain, seperti Malaysia.

RM. Sinarbiyatnujanat, SE, Anggota DPRD DIY (kanan) didampingi Anang Sapta selaku nara sumber dalam acara sosialisasi produk hukum. (Tedy Kartyadi/ Bernasnews.com)

Hal ini disampaikan RM. Sinarbiyatnujanat, SE, Anggota DPRD DIY didampingi Anang Sapta, dalam acara sosialisasi produk hukum daerah oleh Komisi DPRD DIY dan Pemerintah Daerah DIY mengenai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2019 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Batik Jogja, Jumat (13/3/2020), di Balai RK Kumendaman, Mantrijeron, Yogyakarta. Acara sosialisasi dihadiri lebih dari 180 peserta dari segala lapisan masyarakat Kota Yogyakarta.

“Batik Jogja merupakan bagian kekayaan budaya kita sekaligus dalam konteks mengangkat nilai-nilai keistimewaan Jogja di dalam spesifik budaya, sehingga batik menjadi salah satu bagian dari budaya. Oleh karena itu DPRD DIY di tahun 2019 sebelum periode saya, menganggap perlu untuk mengatur dalam bentuk peraturan daerah terkait dengan batik,” ungkap Sinar.

Para peserta sosialisasi. (Tedy Kartyadi/ Bernasnews.com)

Selain tentang perlindungan tentang batik, Sinar dari Komisi B ini, menambahkan, yang kedua di dalam peraturan daerah ini mencangkup mengenai pengembangan Batik Jogja yang telah memiliki pakem dapat dieksplorasi menghasilkan produk-produk unggulan. Kemudian yang ketiga mencakup tentang perluasan usaha batik, bagaiamana usaha-usaha batik di Yogyakarta ini bisa memperluas jaringan pemasaran ke wilayah sekitar DIY atau ke luar negeri.

Anang Sapta selaku nara sumber menjelaskan tentang latar belakang pembuatan perda dalam kajian naskah akademik. “Batik itu telah menjadi legendaris di Indonesia, khususnya wilayah kerajaan Mataram, Jogja dan Solo sebagai pusat batik. Juga pengakuan UNESCO, batik sebagai warisan kemanusiaan non bendawi. Yang kedua, ternyata Jogja sebagai pusat batik di Indonesia memiliki nilai sejarah, kebudayaan, ada ciri khas dalam pembuatan batik,” beber Anang Sapta.

Anang Sapta sedang menjelaskan yang termaktub dalam Perda tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Batik Jogja. (Tedy Kartyadi/ Bernasnews.com)

Sambung Anang Sapta, bahwa Batik Jogja ini mempunyai ciri khas dan filosofi sendiri yang berbeda dengan batik di daerah lainnya. Misalnya, dibandingkan dengan batik gaya Solo, gaya Pekalongan, batik gaya Yogyakarta punya identitas tersendiri. Maksud dan tujuan perlindungan karya batik itu disebutkan, bahwa generasi selanjutnya bisa menjadikan batik sebagai bentuk budaya yang terus terjaga berkelanjutan dan pelestariannya melalui berbagai cara.

“Ada tiga hal yang penting, Batik Jogja sebagai identitas ternyata produkfitasnya cukup tinggi, dari anak-anak hingga orang dewasa memakai busana batik, seperti setiap Kamis Pahing menjadi kewajiban. Sehingga Batik Jogja perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Juga ada ayat-ayat dalam perda yang mengatur berdasar sejarah, meliputik Batik Kasultanan, Batik Kadipaten, Batik Sudagaran, dan Batik Rakyat,” ujarnya.

Dalam proses dan teknik pembuatan, yaitu, Batik Tulis, Batik Cap, dan Batik Kombinasi. Sedang perkembangan motif, meliputi Batik Tradisional, Batik Pengembangan, dan Batik Kontemporer. Dalam pembuatan perda pemeliharaan dan pengembangan Batik Jogja ini, substasnsinya adalah fungsi social control dan social engenering.

Para peserta yang hadir tetap semangat mengikuti acara sosialisasi dari awal hingga akhir. (Tedy Kartyadi/ Bernasnews.com)

“Fungsi social control, masyarakat Jogja itu mampu mengontrol produktivitas batik, mulai dari caranya, kulaknya (bahan), dan produksinya sehingga masyarakat bisa tetap berkarya dan batik tetap ada di pasaran. Sedang yang dimaksud social engenering, pemerintah membangun kebijakan-kebijakan, salah satunya melakukan hak paten batik gaya Jogja,” pungkas Anang Sapta.

Dalam sesi interaksi kegiatan sosialisasi perda kepada peserta yang hadir, peserta bernama Edy Suyudono selaku pemerhati budaya dan batik pakem Jogja, mengimbau agar implementasi perlindungan Batik Jogja ini juga sampai dalam pemahaman bagi para pedagang batik dan para pelaku budaya, terutama perias pengantin.

Sementara, peserta bernama Seno Pratomo, mengusulkan agar perda tentang pemeliharaan dan pengembangan Batik Jogja yang mencakup 10 Bab dan terdiri dari 45 pasal ini juga bisa tersampaikan kepada pemerintah kota dan kabupaten dalam bentuk perda turunan, sehingga keberadaan Batik Jogja yang mempunyai motif dan ciri khas tersendiri dapat tetap terjaga. (ted)